Senin, 29 February 2016
Usai trip ke Pamukkale perjalanan dilanjutkan ke hotel tempat kami menginap. Doga Thermal hotel. Nama hotel menunjukkan bahwa daerah ini terkenal dengan sumber air panasnya. Malam hari selesai pembagian kamar dan makan malam, aku, Sapta dan Kota jalan-jalan ke pertokoan di sekitar hotel. Mencari ATM untuk mengambil deposit, khawatir persediaan dollar akan kurang, meskipun masih ada (bahkan ketika sampai di Indonesia persediaan dollar masih cukup banyak alias beberapa lembar...ah lumayan untuk persiapan tour Eropah berikutnya).
Berjalan-jalan dipertokoan malam hari aku jadi ingat serial drama “O Hayat Benim”, dipinggiran toko beberapa bapak-bapak berkumpul di suatu meja, ngobrol-ngobrol dan minum, karena gelap aku gak begitu jelas mereka sedang melakukan permainan semacam kartu atau apa. Di sekitar pertokoan banyak sekali anjing-anjing dengan tubuh besar berkeliaran. Selesai dari ATM kami kembali ke hotel karena hari sudah cukup larut. Harus cukup istirahat malam ini karena besok harus menempuh perjalanan yang cukup jauh ke Cappadochia.
Jam 8 pagi bis kami sudah melaju meninggalkan Pamukkale menuju Konya. Ini perjalanan paling panjang dan lama. Sesekali bis berhenti di rest area. Aturan dalam lalu lintas jalan raya di Turki sangat tertib dan boleh dijadikan contoh untuk di Indonesia. Setiap bis luar kota harus berhenti di suatu rest area untuk setiap beberapa jam/km tertentu. Ini untuk memberikan kesempatan sang sopir istirahat. Mobil juga harus melaju dengan kecepatan tertentu yang telah ditentukan. Dan kepolisian jalan raya akan memeriksa data-data ini, selang beberapa waktu secara rutin. Pantesan tidak ada kendaraan yang melaju seperti jet seperti yang biasa kita dapati diperjalanan luar kota di Indonesia.
|
Gunung salju dibelakang sana view yang diambil saat berhenti di rest area |
Jam 12 siang kami kembali singgah di sebuah resto yang menyajikan makanan seperti sayap (entah sayap apa karena sayapnya kecil-kecil sekali) yang dipanggang. Sepertinya kebiasaan orang Turki selalu makan dengan jumlah banyak, untuk setiap peserta dalam sepiring menu yang disajikan terdapat 6 potong lebih sayap bakar itu. Aku mencoba menggigit hidangan itu. Hmmmm...enak sekali. Rasa bumbu rempah sangat terasa, terasa ada rasa manis mirip ayam bakar madu. Aku menyantap semua spicy wing tersebut tanpa menyentuh hidangan lain yang juga disajikan. Selanjutnya ditutup dengan hidangan penutup berupa potongan sunkist. Alhamdulillah sejak kemarin lidahku mulai berasa cocok dengan sajian khas lokal Turki. WRP diet nya disimpen lagi.
Usai santap siang kami melaksanakan sholat Dzuhur dan Ashar di mushollah resto. Dan setelah itu kembali melanjutkan perjalanan.
MEVLANA MUSEUM
Masih ditengah cahaya matahari yang terang benderang dan menyengat kami memasuki area kompleks Mevlana Museum, yang didalamnya terdapat tempat tinggal sekaligus makam Jalaluddin Rumi, yang hingga kini masih rutin dikunjungi oleh peziarah lokal, yang mencapai 1,5 juta orang pertahunnya
Jalaluddin Rumi sebenarnya dilahirkan di Afghanistan pada tahun 1207. Lalu ia melarikan diri ke Iran bersama keluarganya dari invasi tentara Mongolia. Setelah melakukan perjalanan haji ke Mekkah, mereka pindah ke Erzincan dan beberapa kota lainnya di Turki, sebelum akhirnya menempati Konya atas permintaan pimpinan Bani Seljuk, Alaeddin Keykubad.
Ayah Rumi adalah seorang alim ulama terpandang dan disegani. Kemudian, tahun 1244 menjadi titik balik kehidupan Rumi ketika ia bertemu seorang pengembara sufi yang juga murid ayahnya, Syamsuddin Muhammad Tebrizi. Rumi banyak belajar tentang sufi dari Syems, panggilan akrab Syamsuddin, dan sering menghabiskan waktu bersamanya, yang menimbulkan kecemburuan di kalangan murid-murid Rumi. Konon, Syems kemudian dibunuh, tetapi versi lain menyebutkan Syems bersembunyi, yang membuat Rumi sangat terpukul, sehingga ia mengasingkan diri dari dunia luar. Dalam pengasingannya itu ia menulis karya puisi Mathnawi dan beberapa kumpulan puisi lainnya yang ditulis dalam bahasa Persia.
Rumi meninggal pada tahun 1273. Kematiannya menyebabkan penduduk Konya berkabung selama empat puluh hari. Putranya, Sultan Veled, mengumpulkan para pengikut Rumi dalam suatu kelompok persaudaraan yang disebut Mevlevi, atau whirling dervishes. Ciri khas mereka mengenakan kemeja lengan panjang dan rok panjang yang melebar ke bawah, serta topi berbentuk silinder panjang. Disebut whirling karena dalam upacara tarian sufi, mereka melakukan putaran yang menyebabkan rok mereka ikut berputar dan mengembang.
Salah satu ajaran sufi yang menarik perhatianku seperti yang diceritakan Ramazan adalah bahwa kita hidup untuk mati, jadi setiap hari kita selalu mempersiapkan kematian yang merupakan kehidupan yang sebenarnya. Dan setiap sufi selalu pandai bersyukur terhadap apapun pemberian dan karunia Allah. Cara mereka mengekspresikan rasa syukur adalah mencium setiap benda yang akan mereka gunakan, seperti baju, sendok dan apapun. Aku suka dengan prinsip ini karena akupun selalu memiliki prinsip seperti ini bahwa dunia hanyalah persinggahan sementara. Dan setiap kita pasti mati yang merupakan pintu menuju hidup yang abadi, jadi saat ini waktu kita sangat terbatas untuk memperjuangkan segala sesuatu sebagai bekal akhirat.
KOMPLEKS MUSEUM MEVLANA
Memasuki kawasan museum ini akan terlihat ciri khas bangunannya berupa sebuah kerucut dari keramik berwarna turquoise (hijau kebiruan) diapit kubah-kubah bundar lainnya. Pertama kali kami masuk dalam suatu ruangan yang didalamnya terdapat diorama seperti dapur. Kami harus berdesakan dengan pengunjung lain dan security mengingatkan Ramazan untuk memberi tahu agar kami berhati-hati dengan tas dan dompet. Khawatir ada pencopet.
|
X -ray detector di pintu masuk |
|
Gerbang masuknya lucu |
|
Jalan menuju arah museum |
|
Papan Banner Museum |
|
Taman dihalaman depan museum |
|
Bangunan museum dengan menara berbentuk kerucut berwarna hijau turquoise |
|
Tampak depan bangunan museum |
|
Museum Mevlana |
|
Gerbang masuk museum Mevlana |
Setelah itu kami melewati sebuah kolam yang dikelilingi pagar dan digunakan sebagai tempat berwudhu (airnya yang segar juga bisa diminum!), kami memasuki sebuah bangunan tempat diletakkannya kuburan Rumi beserta murid-murid dan putranya. Sebelum masuk, para pengunjung harus terlebih dahulu melepas alas kaki dan menutupi telapak kaki dengan kantung plastik yang tersedia. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kebersihan di dalam kompleks makam. Persis di samping kiri sebelah pintu masuk makam terdapat sebuah kendi besar berwarna keperakan, disebut Nisantasi, atau April Bowl, yang konon dulunya diisi dengan air hujan yang jatuh pada bulan April dan dianggap suci. Para petani menggunakannya untuk keperluan tanah pertaniannya.
|
Kolam yang dipagar yang merupakan tempat wudhu |
Menuju lebih jauh ke dalam kembali kami harus berdesak-desakan dengan banyak pengunjung lainnya, terutama penduduk lokal, yang berebut ingin memanjatkan do’a dan permohonan kepada arwah sang guru besar sufi. Sayang memang apabila tempat yang suci ini digunakan untuk hal-hal syirik. Begitu pula dengan kolam tempat berwudhu di luar makam, yang dilempari koin oleh para pengunjung seraya berharap do’a dan impian mereka terkabul.
|
Kolam kecil yang dipenuhi oleh uang receh yang dilemparkan oleh pengunjung |
|
Gedung dibelakang itu adalah ruang tempat makam tokoh-tokoh |
|
Sebelum masuk bangunan museum tempat makam para tokoh, kita harus memakai plastik seperti ini supaya ruamgam tidak menjadi kotor |
|
Pernik interior di entrance sebelum mauk ke tempat pemakaman, disini masih diperbolehkan ambil foto |
Semua makam tokoh-tokoh sufi ini ditutupi dengan kain yang disulam dengan benang emas, akan tetapi makam Rumi dan putranya ditandai dengan dua buah turban besar di salah satu ujungnya, sebagai simbol penguasa dunia spiritual.
Di dalam bangunan tersebut kita juga bisa melihat beberapa barang peninggalan sultan-sultan kerajaan sultan-sultan kerajaan Ottoman (atau Utsmaniyah), karena Raja Mehmet The Conqueror serta Raja Süleyman The Great adalah pengikut ajaran Mevlevi. Selain itu juga terdapat baju-baju yang pernah dipakai oleh Rumi, alat-alat musik seperti flute dan baglama, Al-Qur’an peninggalan kekaisaran Ottoman, dan kain-kain sajadah.
Terdapat juga bangunan yang merupakan tempat tinggal murid-murid yang sedang mondok (seperti asrama pesantren) dalam ruangan ini terdapat diorama berupa patung-patung manusia yang menggambarkan kegiatan para murid. Dari salah satu kamar terdengar lantunan ayat suci Al-Qur’an dikumandangkan dengan syahdu sekali, aku tersentuh dan terlebih lagi melihat pemuda yang sedang melantunkannya. Pemuda itu masih sangat belia dan sangat tampan dengan raut mukanya yang putih bersih dan bercahaya. Sebelum dinyatakan diterima menjadi murid yang bisa tinggal menginap dan menuntut ilmu, calon murid harus menjalani ujian yang cukup sulit.
|
Entah pernik ini merupakan simbol apa, terdapat di pekarangan depan barak mevlana |
|
Pemondokan para mevlana |
|
Di belakangku adalah kamar-kamar untuk para mevlana mondok |
|
|
|
|
Gedung tempat dapur mevlana |
|
Kotada didepan barak pemondokan para mevlana |
|
Makam mevlana yang terletak di bagian kanan museum |
|
Dapur dan ruang pertemuan mevlana dan gurunya |
|
Dirama dapur Mevlana |
|
Diorama Whirling Dance |
|
Diorama tentang kegiatan para mevlana di pemondokan |
|
Pemuda tampat yang melantunkan ayat suci Al Qur'an (asli manusia... bukan patung) |
|
Pohon apricot yang mirip sakura terletak dibagian luar museum |
Matahari semakin menyengat mengiringi kami meninggalkan museum ini. Kami masih harus menempuh perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu sekitar lebih kurang 5 jam sebelum sampai ke Cappadochia. Dalam perjalanan sempat mampir sebentar di Sultanhani Caravanseri.
|
Sultan Hani Hotel |
|
Menjelang sunset di Sultan Hani |
Jam 7 malam akhirnya rombongan sampai ke sebuah hotel yang sungguh menganggumkan “Dere Suites Hotel”. Sembari menunggu pembagian kamar kami harus menyelesaikan urusan pembayaran untuk naik balon udara esok pagi. Setiap peserta dikenakan biaya sebesar 260 US$, lumayan mahal sih tetapi ini sebuah kesempatan baik untuk merasakan sensasinya dan tidak hanya membayangkan saja cerita-cerita teman-teman blogger yang pernah mencoba. Uang tidak bisa membayar sensasi dan rasa toh? Ahaaa... ayo bayar...bayar!
Hotel dalam goa.... Aduh jadi ingat film kartun Mr. Flinstone. Hmmm... senyum sendiri mengingat ekspressiku ketika pertama kali masuk ke kamar. Aku sendirian dan masuk lebih dulu ke kamar, berhubung mbak Diba masih mampir main ke kamar mbak Evi. Begitu aku membuka pintu, hampir berteriak dan mau lari ke kamar mbak Evi untuk memanggil mbak Diba, suasananya remang-remang dan menyeramkan. Dengan ragu-ragu aku membeanikan diri tetap masuk, sambil istighfar dan dzikir macam-macam. Untung 15 menit setelah itu mbak Diba datang (dalam hati aku terlonjak senang dan agak lega).
Tapi itu hanya kesan pertama kali, selanjutnya aku takjub dengan seni serta kreatifitas penduduk disini. Setelah makan malam aku masih sempat membereskan koper. Kupisahkan kumpulan baju kotor dan baju bersih agar mudah saat memilihnya ketika hendak dipakai, selanjutnya tidur. Sayangnya aroma ruang hotel terasa agak kurang nyaman, ada bau yang tidak mengenakkan sehingga agak kurang nyenyak tidurku malam ini.
No comments:
Post a Comment