Thursday 20 April 2017

BANDUNG ON THE WEEK END 4th DAY

Minggu, 9 April 2017
Yahhhhh....sudah hari terakhir nih cuti week end kali ini. Terasa cepat sekali, karena aku memang suka dengan Bandung. Cuacanya, alamnya, habitnya. Semua cocok. Malah sejak hari pertama explore alam Jawa Barat, arah Lembang terlebih lagi arah Ciwidey that I prefer to live, aku berkhayal kelak akan punya rumah di pedesaan Ciwidey menghabiskan masa tuaku. Eh mungkin gak ya? Apa yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Mimpi aja dulu kaleee....

Ini hari terakhir dan tidak ada schedule khusus yang ada adalah menghabiskan waktu menunggu kepulangan dengan pesawat jam 17.30 nanti. Kami sepakat schedule hari ini dimanfaatkan untuk city tour saja, mengunjungi tempat-tempat indah seperti yang sering aku lihat di medsos. Dannnn...karena hari ini rencana mau ikutan “Car Free Day” (atas usulan Sapta dan juga kang Dede), maka rencananya kami akan berangkat sangaaaat lebih pagi dari rencana-rencana kemaren. Jam 6 harus sudah start atau setengah 7 paling lambat, mengingat CFD itu memang mulainya pagi dan akan bubar jam 9. So...sudah dengan tegas kemaren kami menegaskan kang Dede gak boleh telat lagi, kalau memang gak bisa lebih baik kami naik opelet atau malah go car saja. Dengan kesepakatan yang amat tegas si kang Dede menyatakan “deal” dijemput pagi jam 6.30.

Baiklah mengingat kesepakatan yang sudah dicanangkan, jam 6 kami sudah ke lobby dan bawa koper lengkap untuk sekalian check out. Okay...gak begitu lama proses check out selesai. Namun kenyataannya sudah jam 7 kang Dede belum juga muncul. Aku ingin sholat Dhuha dulu sajalah (hari ini siklus bulanan sudah kelar jadi sudah bisa sholat), ternyata mau balik ke kamar lagi sudah tak bisa karena kamar sudah dibereskan, beruntung ada mushollah di lantai 3. Lalu...sesudah dhuhapun masih belum juga dijemput. Waktu sudah menunjukkan jam setengah 8. Tadinya memang sengaja tidak mau sarapan dulu karena menurut Sapta di CFD banyak jajanan khas Bandung yang enak, aku ngidam dan pengen banget ngerasain Cuangki. Namun karena sudah 7.30 aku dan Kotada sudah kelaparan akhirnya ngetem lagi di warung depan hotel dan sarapan kupat tahu.

Habis sarapanpun ternyata kang Dede belum jemput juga padahal sudah jam 8 kurang 5 menit. Astaghfirullah.... keterlaluan banget yah kang Dede ini, selama 3 hari selalu molor dan gak tepat janji. Ya Allah...secara seorang muslim janji itu hutang, gimanalah rezeki akan berkah kalau selalu menyakiti perasaan orang lain (iyalah sakit itu identik dengan jengkel). Aku hanya diam beristighfar sedang Sapta sudag ngomel terus tuh. Mana ditelpon gak bisa lagi, bukankah HPnya kemaren ketinggalan di mobil temannya sesama driver saat di Kawah Putih. Haduhhhh...

Akhirnya jam 8.15 dia muncul juga, kali ini dia mengajak anaknya cewek. Kalau kata Sapta dan Kotada sih anak itu buat bemper saja agar kami gak berani marah. Yah sudah cusss kita berangkat di jam 8.15. Untungnya jarak tempuh gak begitu jauh. Kami cuma di drop saja. Yah bener saja suasana sudah hampir sepi sih, sebagian orang sudah jalan ke arah pulang. Yang membuat Sapta jengkel adalah kita itu justru di drop di area jalan pulang bukan start. Hmmmm... terlalu.

Yah meski datangnya rada telat, aku masih bisa menyaksikan sisa-sisa keramaian orang Bandung yang tumpah ruah di jalanan seputaran Dago. Berbagai macam kegiatan seperti senam aerobik, pertunjukan musik, pertunjukan teaterikal dan sebagainya berkenaan dengan kreatifitas seni mahasiswa berbagai akademik dan lembaga ilmu. Jajanan juga banyak, cuangki juga ada tapi sayangnya aku sudah tak minat makan lagi karena sudah kenyang sarapan kupat tahu yang porsinya cukup besar tadi. Sayang banget.... padahal pengennnnn.

Pekerja seni mahasiswa suatu perguruan tinggi yang mentas di jalanan

Pemandangan di Dago, di instagram bilangnya foto ini keren
Matahari Bandung hari ini sangat terik meski masih lumayan pagi, kami masih menyusuri jalan sekitaran area CFD sudah menuju ke arah tempat kang Dede menjemput nantinya. Sapta sempat membeli topi koboy, training pack yang memang murah sih menurutku dengan kualitas barang seperti itu. Aku juga iseng membeli bros kecil hanya karena agar ibu-ibu itu dagangannya laku saja, kalau minat beli sih tidak karena koleksi brosku masih sangat banyak. Beli 3 seharga 40 ribu.

Okelah sesuai keinginan aku ingin foto di depan gedung sate. Sebelum sampe kami sempat diajak Sapta mampir di area seperti pasar pagi, dimana area tersebut penuh dengan pedagang dan pembeli sehingga jalan saja tak bisa. Rupanya tujuan Sapta ke area itu karena dia ingin makan di suatu tempat yang menjual makanan besar (nasi maksudku) dengan segala rupa menu. Di situ metodenya pengunjung mengambil sendiri menu yang dipilih di meja yang panjang sekali (Ada sekitar 50 jenis menu barangkali saking banyaknya, untuk pastinya aku gak sempat ngitungin), lalu langsung duduk lesehan sambil menyantap menu pilihannya. Setelah itu sembari makan kasir akan berkeliling menanyakan apa saja yang diambil dan memberikan nota. Selesai makan baru bayar. Sapta mengajak makan, tapi aku dan Kotada menolak karena memang masih sangat kenyang. Kupat tahu...penyebabnya hehee. Akhirnya Sapta makan sendirian, kulihat dia mengambil jengkol balado hmmmm...pasti maknyus. Tapi menurutku harga makan di sini cukup mahal.Menu yang Sapta ambil hanya ayam goreng 1 potong, 5 keping jengkol balado dan secentong tumis kangkung, minumnya mineral water gelas total yang harus dibayar 56 ribu rupiah.

Menu sajian yang sempat terfoto meski gak mencicipinya
Usai Sapta kami berusaha keluar area tersebut. Sulit sekali untuk keluar karena sesak dan padatnya itu, mana sirkulasi udara kurang baik disebabkan oleh tenda-tenda pedagang. Aku sudah berkunang-kunang dan sangat lelah sekali. Matahari yang sangat terik dan jalan yang memang sudah cukup jauh membuat aku sangat lelah, berkali-kali aku tanya sama Sapta masih jauh gak tempat jemputan kang Dede, bahkan aku sudah kehilangan selera untuk ke gedung sate. Sapta berusaha menyabarkan dengan kalimat “sebentar lagi bik Esi, Tak jauh lagi” tapi tidak sampai-sampai. Hahaa kayak ibu ngebohongi anaknya yang sudah lelah diajak jalan jauh saja. Aku bilang tak usahlah ke gedung sate, aku sudah capek. Tapi Sapta bilang sayang kepalang ke sini, manalagi tempatnya tak jauh kok sekalian dilewati menuju tempat parkir kang Dede.

Track untuk sprint di lapangan depan gedung sate
Gedung Sate dikejauhan dan inilah Alun-alun itu
Sprint line
Langit cerah di atas kota Bandung
 Ya sudahlah... jalani saja. Setibanya di depan gedung sate , aku makin berkunang-kunang nih. Matahri terik dan menyengat di tengah lapangan luas dengan track untuk sprint dan kerumunan manusia aku semakin lesu. Tanpa ada pohon rindang buat berteduh. Hmmmm gak betah banget, ambil fotopun tidak semangat.Yah...ingin cepat ke mobil saja. Baiklah...kita cari kang Dede. Rada sulit nih menemukan posisi kang Dede. Bolak balik muter padahal sudah capek. Sepanjang jalan mencari kang Dede aku dan kota membeli rujak buah. Lumayan harganya 10 ribu rupiah, jadilah untukmenyegarkan mata yang kiyep-kiyep kepanasan.Dan bertemu juga si akang Dede di depan Grapari Telkomsel.

Tidak minum, maka rujakpun dijadikan penghapus dahaga, sebungkus berdua
Hmmmm... lega masuk ke mobil dan kena AC, karena sudah capek sudah tak minat lagi menyelusuri jalanan cantik seperti yang aku lihat di medsos. Lalu tiba-tiba saja gagasan itu datang, aku pengen ke pasar baru. Tujuannya cuma pengen beli jilbab besar dan panjang karena Februari nanti aku berniat umroh. Akhirnya cussss kami bener-bener ke pasar baru. Senengnya kalau pergi sama Sapta dan Kotada tuh seperti ini nih, mereka tidak sungkan untuk diajak ke tempat-tempat kesukaan wanita.

Akhirnya mampir juga di Pasar Baru
Sampai di pasar baru pengunjung cukup padat. Aku berusaha nyeger-nyegerin badan, karena kebiasaan aku tuh gak bisa di tempat padat dan ramai, bawaannya pusing dan kunang-kunang pasti. Okelah sepakat kami mau cari bahan brokat dulu saja, Sapta mau cari brokat putih untuk baju acara preweddingnya. Dan tanpa sulit di lantai 3 sudah dapat, aku juga membeli brokat ungu muda untuk nyocokin gamis purple mudaku buat acara kawinan Sapta. Selain itu Sapta juga memborong kaos buat oleh-oleh teman dan sepupunya Idham. Murah lagi , kaos katun seharga 30 – 40 ribu sudah bagus.

Lalu gantian sekarang aku yang cari sasaran aku. Masih di lantai 3 Blok A1, secara kebetulan aku menemukan toko “Naira Alzena” yang jual khimar terkini seperti, Lyra Virna, Deanara, truss apalagi tuh. Harga murah (bayangin khimar sekelas Albarikz yang suka aku beli seharga 260 ribu itu di sini harganya hanya 125 - 175 ribuan) dan setelah dicoba di muka passss banget (secara biasanya sulit cari jilbab yang bisa masuk ke mukaku, mukaku tuh bulat dan lebar). Heheeeee.... malu buat diceritain, memang sih kali ini aku berhasil menahan godaan belanja, aku cuma membeli khimar saja kok dan tak beli yang lain-lain yang tak penting. Tapiiiiiii......jumlahnya banyakkkkkk. Hahaaa...sehingga total buat beli khimar saja jumlah belanjaku 1,2 juta. Gak apalah...sekali-sekali mumpumpung dapat yang pas di hati. Hiks.... budget jebooolll.

Yang kalap dengan khimar bagus dan murah

Tak lama belanja di pasar baru ini kami segera keluar, mencari parkir kang Dede. Setelah bertemu aku langsung bilang tujuan selanjutnya adalah sholat dulu, karena adzan di smartphoneku sudah bunyi. Kang Dede mengajak sholat di Masjid Raya Bandung saja, tak begitu jauh dari parkiran itu. Trus bla...bla dia bercerita tentang kelebihan masjid Raya tersebut. Baiklah kalau begitu.

Dahulunya masjid Raya Bandung dikenal dengan nama Masjid Agung Bandung yang merupakan sebuah masjid besar yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat, Pulau Jawa, Indonesia. Masjid ini juga merupakan sebuah masjid utama di provinsi Jawa Barat. Masjid ini pertama kali didirikan pada tahun 1810, dan semenjak didirikannya, Masjid Agung Bandung ini telah mengalami delapan kali perubahan pada abad ke-19, dan kemudian lima kali perubahan pada abad 20 sampai pada akhirnya direnovasi kembali pada tahun 2001 sampai diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung pada 4 Juni 2003 yang diresmikan oleh Gubernur Jawa barat yang ketika itu adalah, H.R. Nuriana. Masjid baru ini, memiliki corak Arab, dan menggantikan Masjid Agung lama, yang memiliki corak khas Sunda.

Menyusuri pertokoan yang jalannya luas sangat nyaman dan bersahaja. Deretan kursi taman yang cantik dan juga pernak-pernik antik di sepanjang jalan tersebut. Pertunjukan seni kecil-kecilan terkadang dipentaskan di jalan tersebut. Kulihat banyak warga/pengunjung yang duduk-duduk santai di kursi-kursi cantik sambil bercanda dengan anak, kekasih, adapula yang sambil menyantap makanan.

Etalase jalanan menuju Masjid Raya Bandung, Nyaman...!
Tiba di muka masjid aku dibuat terpana, karena diluar prediksiku, halaman maupun bagian dalam masjidnya sendiri luar biasa ramai oleh pengunjung yang sengaja ke lokasi itu untuk berdarma wisata. Kalau dari logat bicaranya sebagian pengunjung masih berasal dari daerah sekitaran Jawa Barat juga, aku sempat berbincang dengan beberapa pengunjung. Mereka ada yang berasal dari Garut, Sukabumi, tetapi tetap ada juga pengunjung luar daerah seperti Aceh, Jakarta termasuk dari Palembang yaitu saya heheee...

Untuk melaksanakan sholat tahapan awal yang kami lakukan adalah menitipkan sandal/sepatu pada tempat penitipan yang terdapat pada pintu masuk. Kalau ingin di kantongi banyak sekali anak-anak kecil yang menjajakan kantong plastik buat sandal, bayarnya sukarela saja kata sang penjual. Setelah itu aku masuk ke dalam masjid bersama Bunga (anaknya kang Dede). Kami berpisah dari rombongan para pejantan karena area masuk tempat wudhu dan toilet wanita dan pria berbeda dan berjauhan. Masuk ke tempat wudhu yang sangat luas kulihat desain tempat wudhunya mirip di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Ada undakan untuk tempat duduk dan keran airnya masing-masing, jumlahnya sangat banyak dan jangan khawatir tak kebagian. Sayangnya masyarakat yang datang kurang paham fungsi undakan itu. Seharusnya undakan itu adalah tempat duduk di saat mengambil wudhu, sehingga kita nyaman saat akan membuka jilbab, kaos kaki. Terutama untuk orang yang tua seperti aku (heheeee...insyaf sudah udzur) yang mulai rada sulit angkat kaki atau menunduk saat buka kaos kaki. Kenyataannya undakan itu basah telas semua. Aku berkeliling kalau aja ada yang kering, tapi tak adapun. Ya sudahlah terpaksa ambil wudhu dan buka serta pasang kaos kakinya sambil berdiri.

Usai sholat aku segera keluar, tak menjumpai siapapun termasuk Bunga di tempat yang dijanjikan bertemu, karena toh kunci locker sandal dipegang Sapta. Akhirnya aku berusaha telpon. Rupanya memang mereka belum mengambil sepatu. Mereka langsung main dan mengabadikan keunikan lapangan di depan masjid yang disebut Alun-alun dimana lantainya dipercantik rumput sintetis. Setiap pengunjung harus membuka alas kaki di tempat itu. Kalau kata Kotada tempat ini sangat instagramable alias hits. Ohhhhhh...aku baru tahu. Lapangan dengan rumput sintetis itu sangat ramaiiiiii, banyak cara orang yang menikmatinya, tetapi sebagian besar anak kecil bermain dengan bola plastik.

Melalui pengeras suara berulang kali terdengar petugas mengumumkan peringatan untuk tidak makan atau mengotori rumput sintetis,mengingatkan agar melepas alas kaki, lalu peringatan berhati-hati dengan barang bawaan. Beberapa anggota kepolisian juga berjaga di area seputaran masjid. Hmmmm...jadi polisi di Bandung tugasnya lebih berat ya karena hari Minggu dan liburpun masih harus bertugas dan berjaga.

Di masjid ini terdapat dua buah menara kembar pada sisi kiri dan kanan masjid dengan ketinggian 81 meter yang dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu. Atap masjid juga diganti dari yang awalnya atap joglo menjadi satu kubah besar pada atap tengah serta atap yang lebih kecil pada kiri dan kanan masjid dan dinding masjid juga terbuat dari batu alam dengan kualitas tinggi. Sekarang luas tanah keseluruhan masjid adalah 23.448 m² dengan luas bangunan 8.575 m² dan mampu menampung kurang lebihnya sekitar 13.000 jamaah.

Menara Masjid Raya Bandung kini menjadi primadona wisata di Kota Bandung. Menara setinggi 86 meter lebih banyak dikunjungi saat bulan suci Ramadan. Para orang tua hingga anak-anak menghabiskan waktu di sini untuk ngabuburit. Dan sayangnya dengan matahari yang cerah ceria tersebut kami sulit mengambil foto karena hasilnya selalu back light.

Konon ceritanya para pengunjung dapat menikmati tingginya menara kembar dengan cara menggunakan lift agar bisa mencapai lantai 19. Untuk tersebut pengunjung harus merogoh kocek Rp 1000 untuk anak-anak, serta Rp 2000 bagi orang dewasa. Di puncak menara para pengunjung bisa melihat pemandangan Kota Bandung.Menara kembar dibuka setiap hari sejak siang. Mampu menampung sampai 80 orang. Namun pada siang itu sepertinya menara sedang tidak dibuka.

Menara kembar mulai berdiri ketika masjid ini direnovasi pada 2001. Di menara kembar itu ada dua kubah berukuran kecil yang di atasnya terdapat lambang tusuk satai. Terdapat juga kubah induk. Ukurannya lima kali lebih besar dari kubah yang kecil. Di kubah itu terdapat tulisan Allah setinggi 7 m.

Aku segera mengajak keluar saja dari area alun-alun, perut sudah lapar. Lokasi dan tujuan makan sudah diplanning sejak dari Palembang. Aku ingin makan bebek Garang yang ada di jalan Braga. Konon ulasannya sangat maknyus dan recomended. Kang Dede masih menawarkan untuk berkeliling saja di area tak jauh dari masjid, untuk melihat monumen rencana pembangunan LRT. LRT??? Buat apa dilihat toh di Palembang sudah ada, tapi yah sudahlah ikut saja toh tak begitu jauh. Aku tidak tertarik sama sekali melihat “dami” kereta dan statsiun LRT walaupun kulihat pengunjung sangat ramai bahkan mencicipi naik kereta “dami” tersebut, yang justru membuat aku tertarik adalah pemandangan di jalan-jalan daerah sekitar itu. Miriiiipppp sekali dengan view di Kota Tua Jakarta. Kata Sapta lokasi itu juga disebut Kota Tua. Ohhhhh.... semangat sekali aku berfoto mengabadikan view sekitar, sayang hasil fotonya tak ada yang memuaskan hati. Mungkin Sapta sudah sangat lapar.

Rumput sintetisnya bersih
Menara sebelah kanan

Menara kembar

Pemandangan kota tua di bandung

Pemandangan kota tua, si abang beca ikut eksis


Ayoooo...saya sudah lapar marilah kita makan yuk. Kami menuju jalan Braga, kata kang Dede semoga dapat parkir kalau tidak kita akan jalan jauh.

JALAN BRAGA
Bicara kota Bandung, siapa yang tak kenal dengan Jalan Braga. Jalan yang termasuk dalam jalan utama di Paris Van Java tersebut telah terkenal sejak masa penjajahan Belanda hingga menjadi judul sebuah lagu dari Sunda. Sebagai tempat yang menyimpan sejarah penting dalam sejarah Kota kembang, Bandung, membuat jalan ini tempat masih dipertahankan dan bahkan menjadi maskot kota Bandung. Sejumlah bangunan tua masih tetap berdiri dengan kokoh di kanan-kiri jalan, memamerkan kemegahannya di masa lalu. Di Jalan Braga, selain berwisata sejarah, wisatawan juga bisa menjumpai sejumlah toko yang menjual berbagai pernak-pernik khas kota Bandung. Selain itu juga terdapat jajaran restoran dan cafe yang bisa wisatawan kunjungi untuk berwisata kuliner. Tempat ini pun tak pernah sepi selama 24 jam. Bahkan di malam hari, kawasan ini semakin ramai, sebagaimana yang terjadi sejak tahun 1900-an.

Dahulunya jalan ini hanyalah jalan sempit yang sunyi dan kerap menjadi tempat kejahatan? Karenanya Jalan Braga pun sempat disebut sebagai jalan culik dan juga jalan pedati. Sejak kedatangan para pengusaha dari Belanda, jalanan ini pun berubah menjadi kawasan bisnis dengan berdirinya sejumlah toko dan bar serta sejumlah tempat hiburan malam lainnya. Ditambah lagi dengan keberadaan butik di tahun 1920-an yang berkiblat dari kota Paris sehingga Bandung berjulukan Paris Van Java, gedung Societeit Concordia yang menjadi tempat berkumpulnya para bangsawan, hotel savoy homann, dan juga sejumlah gedung perkantoran lainnya yang semkin menambah hingar bingar di Jalan Braga.

Istilah kota Kembang pun hadir dengan banyaknya turis yang memanfaatkan tempat hiburan malam untuk bersenang-senang hingga akhirnya warga Bandung menghimbau mereka untuk tidak datang ke Kota Bandung tanpa istri. Hingga kini tata letak pertokoan tersebut masih dipertahankan dan sejumlah gedungnya juga masih digunakan, namun hanya dialihfungsikan. Misalnya saja Gedung Societeit Concordia yang kini menjadi Gedung Merdeka.

Untuk menikmati pesona Jalan Braga paling pas dengan berjalan kaki. Suasana ala sejarah masih bisa ditemui hanya dengan gedung yang lebih modern. Jalan ini masih menjadi pusat mode dengan keberadaan sejumlah tempat wisata Belanja. Salah satunya adalah Braga City Walk yang menjadi pusat perbelanjaan di Jalan Braga. Sebagai shopping center yang cukup populer, Braga City Walk dilengkapi dengan Cinema XXI, food court dan juga hotel. Sejumlah pusat perbelanjaan lainnya juga bisa dijangkau dengan mudah termasuk yang berada di Jalan Asia-Afrika.

Tak hanya di Braga City Walk wisatawan bisa berburu kuliner disepanjang Jalan Braga. Sejumlah toko makanan tersebut bahkan ada yang berdiri sejak tahun 1900-an, yang salah satunya adalah Toko Roti Sumber Hidangan yang menjual roti-roti ala Belanda. Ada pula restoran Braga Permai dengan menu andalannya Ice Cream Braga Permai Paradise. Di sekitar Jalan Braga juga banyak penjual lukisan yang bisa travelers gunakan untuk oleh-oleh, termasuk lukisan karya para seniman dari Kampung Jelekong. Kalau ingin berfoto dengan background bangunan tua juga bisa dilakukan di sini.

Bahkan saat ini jalan Braga bahkan kota Bandung sudah sangat cantik dengan penataan pemandangan di jalan, trotoarnya yang ditata sedemikian rupa. Deretan kursi taman, lampu penerang jalannya dibuat dengan desain antik dan artistik. Aku suka sekali melihatnya, serasa kita berada di luar negeri. Itulah mengapa warga Bandung sangat bangga pada kang Emil sebagai walikotanya. Kecantikan kota ini adalah ide dan hasil kerja beliau. Great...!

Dengan kepadatan pengunjung mobil-mobil ber plat “B”, kami merasa bersyukur masih dapat parkir yang tidak begitu jauh dari kedai makan “Bebek Garang”. Berjalan hanya 2 meter kami sudah memasuki kedai tersebut. Tidak seperti dalam imajinasiku ketika membaca ulasan tempat ini. Kedai ini sangat kecil dan sederhana.Tidak juga begitu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang sepertinya mahasiswa. Menu yang tersedia ada dalam beberapa pilihan yang bahan dasarnya adalah bebek. Tadinya aku memesan bebek yang cita rasa pedas level tinggi. Aku lupa namanya, namun menu itu out of stock. Akhirnya aku dan kotada memilih bebek Americana, pedas level menengah. Sedang Sapta dan kang Dede memilih menu bebek kremes original, Bunga bebek hitam manis. Begitu pesanan datang kami langsung menyantapnya ludes. Memang enak kok....dan catatan lagi harganya tak terlalu mahal, untuk setiap porsi menu yang kami pesan itu dihargai sebesar 35 ribu saja, itu sudah lengkap nasi, bebek, sayuran, kol kremes dan sambalnya yang peudessssss poll. Kalau minum lain harga dan bisa memilih lagi.Banyak ragam pilihan minuman, tapi kami memilih es teh manis.

Keindahan trotoar di Jalan Braga

Para penjual lukisan yang mangkal di jalan Braga
Kursi-kursi taman yang cantik dan berderet di jalan Braga
Cafe Bandros, mahal punya...
Toko kopi Hang Over, si bapak baju merah selalu mejeng nih setiap sayamau foto
Toko kopi Hang Over....

Cafe Bandros, menu sajiannya sebagian steak aneka varian, tokonya boleh sederhana tapi di sini harganya selangit
Spot favorite, setiap bertemu anak-anak ABG maka aku akan merindukan Nabila. Yah...jadilah mengobatinya dengan ramah tama dengan anak-anak ini
Gedung Konferensi Asia Afrika di jalan Merdeka
Sisi sisi jalan Merdeka. Tetep cantik
Bahkan besi lampu itupun desainnya menarik perhatian aku
Yuk nyender dulu, di Bandung juga indah tak hanya di Milano Italy
Jalan Braga lagi. Tak puaspun berfoto...

Gedung konferensi Asia Afrika
Registrasi tamu dulu, meskipun free charge kok masuk ke sini
Diorama saat pidato Bung Karno di KAA
Bik Esiiiii...jepret... candidlah dia
Tuh ketemu lagi dengan anak-anak yang berkunjung ke sini. Aku inget Ardi dan Nabila lagi. Mereka ini setengah bingung ketika aku ngajak foto bareng. Tapi akhirnya rebutan mau didepan posenya . Jongkok ya...
Bendera peserta KAA
Sisi luar depan gedung KAA
Masih di jalan Braga saat akan menuju ke parkiran mobil and say good bye to Bandung. The last take... See you in another occasion
 Selesai santap siang tenaga sudah dicharge dan ketika kang Dede menawarkan kembali berjalan dari jalan Braga hingga jalan Merdeka tempat gedung konferensi Asia Afrika aku tak menolak. Lumayanlah belajar sejarah dan menambah koleksi foto untuk instagram. Yah...akhirnya semua sudah usai, baiklah kita menuju arah bandara.

Aktifitas di bandara Husein Sastranegara sangat sibuk dan padat, karena ini memang akhir pekan. Sesudah proses check in masuk ke ruang tunggu keberangkatan di lantai 2 aku dibuat terkaget-kaget. Penuh sesak banyak calon penumpang yang tergelatak dilantai atau berdiri menunggu. Benar-benar tak ada space lagi, kami dapat duduk menggelepar di lantai di dekat kotak sampah. Aku bingung apakah kapasitas ruang tunggu ini memang tak cukup atau apa? Setelah duduk aku baru paham bahwa ada ketidakberesan yang terjadi. Ternyata terjadi penumpukan calon penumpang ini disebabkan oleh tertundanya keberangkatan calon penumpang maskapai penerbangan Lion ke segala destinasi. Surabaya, Kalimantan, Lampung, Padang bahkan Malindo yang satu payung dengan Lion pun delay juga.

Jika kemaren-kemaren aku cuma mendengar dan melihat berita heboh delaynya Lion ini dari televisi, hari ini aku menyaksikan sendiri. Betapa manusia yang emosi dan hilang kesabaran itu bersikap seperti itu. Membentak, berteriak-teriak protes pada petugas Lion. Atau ada seorang laki-laki yang protes dengan berteriak-teriak sendiri dengan kalimat “ngenyek” yang kemudian disambut gerrrr... ataupun timpalan kalimat temannya dalam satu group tour, penumpang tujuan Surabaya. Sebenarnya wajar saja mereka seperti itu, schedule berangkat jam 10 pagi sudah hampir jam 5 masih delay tanpa ada kepastian kapan terbang.

Hmmmmm.... citra Lion sebagai maskapai paling sering melakukan delay tanpa batas waktu kan sudah lama terdengar dan nyata, kenapa maskapai ini tetap beroperasi tanpa warning dari yang berwajib. Menurutku sendiri yang paling salah adalah calon penumpang, bukankah sudah tahu reputasinya Lion seperti itu kok masih mau membeli tiketnya? Bukankah kalau tak ada peminat perusahaan ini akan bangkrut dengan sendirinya. Aku sendiri paling tidak mau/ menginginkan terbang dengan Lion. Jika sudah tahu tapi mereka masih membeli artinya sudah mampu menerima segala resiko yang ada yaitu delay. Jadi tak perlu protes keras seperti itu. Ahhhh...entahlah.

Beruntungnya pesawat kami City Link tidak delay dan berangkat sesuai schedule 17.20. Berdasarkan pengalaman berangkat yang pesawatnya turbulensi aku sudah was-was. Tadi di ruang tunggu aku sudah menelan antimo. Tetapi Alhamdulillah... semua mulus dari take off hingga landing semuanya mulus dan nyaman bahkan selama 1jam penerbangan aku tertidur pulas. Yah.... inilah libur week end yang sangat menyenangkan. Semoga masih diberi kesempatan, waktu, biaya dan kesehatan untuk merasakan libur week end di destinasi dalam negeri yang menyenangkan. Insya Allah pengen ke Lombok, Bromo, Padang dan Medan.

Monday 17 April 2017

BANDUNG ON THE WEEK END 3rd DAY

Sabtu, 8 April 2017
Pagi ini , badan terasa segar karena semalam sudah lumayan nyenyak tidurku. Psikisnya sudah menyesuaikan diri. Masih seperti kemaren, hari ini perjanjian dengan kang Dede akan berangkat lebih pagi, jam setengah 7, mengingat ini hari Sabtu dan tujuan kita cukup jauh plus biasanya bila Sabtu penduduk Jakarta akan memadati kota Bandung untuk relaksasi. Jadi jam 6 pun kami sudah turun ke bawah menanti sembari sarapan di warung tenda depan hotel. Sarapan pilihan kami hari ini adalah Kupat tahu. Enak, yummy dan murah. Satu piring kupat tahu dihargai 8 ribu rupiah saja, minumnya teh hangat gratis....

Oh iya ada catatan penting nih, di Bandung setiap kali kita makan entah itu di warung ataupun resto air teh tawar pasti dikasih dan gratis. Kejadian lucu ini terjadi saat hari pertama kami makan di resto ikan (saya teh poho catet nama restonya yah..!), pas ditanya mau minum apa aku bilang teh tawar panas. Eh pelayannya masih aja tanya... minum apa? Aku jawab lagi teh tawar panas. Iya bu...kalu teh tawar panas pasti dikasih gratisss. Hahaaaa....ohhh bener saja pas penyajian ada 3 gelas teh tawar panas meskipun Sapta dan Kotada sudah memesan es jeruk. Hmmmmm.... minuman pokok teh tawar itu. Persis di Turki dong, setiap makan kita pasti dikasih teh tawar panas.

Habis makan Kupat tahu waktu sudah menunjukkan jam 7 pas, tapi kang Dede masih belum nampak juga. Daripada nunggu aku naik lagi ke kamar dan biasalah toilet visiting. Dan sampai jam 8 kurang 5 driver masih belum nampak, Sapta sudah sangat kesal karena di telpon gak nyambung. Kalau kemaren alasan dia telat karena harus ke kantor dulu pinjam uang buat bensin. Nah hari ini alasan apalagi bukankah kemaren aku sudah ngasih uang 500 ribu? Entahlah.... ! Inilah bedanya tour dalam negeri ngaretnya itu kagak nahan. Bedanya kalau di luar negeri driver, tour guide on time malah pesertanya yang lelet, sampai saat di Eropah driver sempat ngamuk-ngamuk karena peserta selalu lelet. Hmmmmm.....

Jam 8 lewat 10 kang Dede baru menampakkan batang hidungnya. Sapta sudah memperlihatkan muka garang, aku diam saja ketika melihat kang Dede salah tingkah dicuekin Sapta dan Kotada saat dia mengajak berbincang. Dua anak laki-laki ini memilih tidur di perjalanan. Hanya ku yang sesekali menjawab obrolan kang Dede. Kalau menurut kesimpulanku dia ini emang bangun kesiangan, aku lihat di dashboard depan itu ada bungkusan yang berisi sarapan dia, ini artinya dia gak sempet sarapan pagi tadi. Hpnya gak diangkat karena dia memang belum bangun. Kesel juga sih sebenarnya aku. Dalam suasana kaku kami melaju ke arah Ciwidey, tujuan utamanya adalah Kawah Putih.

Panjang juga perjalanan ke arah sana hampir 3 jam. Sepanjang perjalanan memang tidak begitu macet tapi mobil tak bisa dipacu dengan kecepatan penuh, karena kondisi jalan yang rusak dan banyak longsor di sana sini. Menurut kang Dede area Ciwidey memang tidak terlalu banyak yang meminati mengingat perjalanannya jauh. Warga Jakarta saat week end biasanya hanya memilih area Lembang karena relatif dekat. Kecuali jika hari libur terjepit maka segala area akan dipenuhi warga Jakarta.


KAWAH PUTIH
Kawah Putih adalah sebuah danau yang terbentuk akibat dari letusan Gunung Patuha. Sesuai dengan namanya, tanah yang ada di kawasan ini berwarna putih akibat dari pencampuran unsur belerang. Selain tanahnya yang berwarna putih, air danau kawasan Kawah Putih juga mempunyai warna yang putih kehijauan dan dapat berubah warna sesuai dengan kadar belerang yang terkandung, suhu, dan cuaca.

Kawah Putih Ciwidey berada di kawasan pegunungan yang mempunyai ketinggian lebih dari 2.400 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian tersebut, suhu udara di kawasan Kawah putih tentu saja dingin dengan suhu 8 derajat Celsius sampai dengan 22 derajat Celsius.

Cerita mengenai Kawah Putih bermula pada abad ke 10 di mana terjadi sebuah letusan hebat oleh Gunung Patuha. Setelah letusan ini, banyak orang beranggapan bahwa lokasi ini adalah kawasan angker karena setiap burung yang terbang melewati kawasan tersebut akan mati. Seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan mengenai angkernya tempat ini mulai pudar, sampai akhirnya pada tahun 1837 ada seorang ahli botani dengan kebangsaan Jerman datang ke kawasan ini untuk melakukan penelitian.

Peneliti yang bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn tersebut sangat tertarik dengan kawasan pegunungan sunyi yang bahkan tidak ada burung yang terbang di atasnya sehingga ia berkeliling desa untuk mencari informasi. Pada saat itu, seluruh informasi yang ia dapatkan adalah bahwa kasawan tersebut angker dan dihuni oleh mahluk halus.

Bagi Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, pernyataan masyarakat setempat tersebut tidaklah masuk akal. Karena tidak percaya dengan cerita-cerita tersebut, ia pergi ke dalam hutan rimba untuk mencari tahu apa yang ada di sana. Singkat cerita, akhirnya Dr. Franz Wilhelm Junghuhn berhasil mencapai puncak gunung, dan dari sana ia melihat keberadaan sebuah danau indah berwarna putih dengan bau belerang yang menyengat.

Tiket untuk beberapa area wisata sekitaran Ciwidey dibeli di muka, disebuah resto pinggir jalan. Untuk total harga tiket bertiga kami mebayar sebesar 275 ribu rupiah, tiket diberikan dalam bentuk kartu magnetik yang dapat dipakai ke seluruh area wisata seputaran Ciwidey kecuali Situ Patenggang harus bayar lagi, karena tidak masuk dalam sistem interkoneksi penyelenggara. Sedangkan parkir mobil harus bayar lagi sebesar 10 ribu rupiah untuk setiap area wisata. Menuju Kawah Putih kami melewati sebuah hutan yang view dan ekosistem habitat pepohonannya sangat menyejukkan mata,karena sejauh mata memandang adalah hijau. Aku sangat suka aroma sekitar hutan (selama di Bandung kami hampir tidak pernah memakai AC baik di mobil maupun hotel. Kami sengaja membuka kaca mobil agar dapat menghirup sejuknya udara). Jalan menanjak ditengah hujan yang cukup lebat, kabut menyelimuti jalanan. Bau khas belerang mulai tercium meskipun lokasinya masih cukup jauh.

Sepanjang perjalanan banyak sekali mobil-mobil yang mogok karena memang jalannya sangat curam (terutama angkutan umum yang disediakan untuk mencapai lokasi bagi pengunjung yang tidak mengendarai kendaraan pribadi). Aku berdoa agar mobil kami kuat dan tidak mogok, karena kalau mogok serem juga berhenti di tengah hutan begini, apalagi harus jalan kaki menanjak untuk sampai ke lokasi. Bisa gempor saya. Suara jangkrik dan binatang-binatang hutan bersahut-sahutan menambah indahnya perjalanan.

Meski laju mobil kami lambat, akhirnya setelah menempuh jalanan curam dan basah, jam 11.30 sampai juga kami di pelataran parkir pengunjung. Udara dingin menyergap (tapi tetep masih dingin di Korea hehehe...) jadi aku dan Kotada tidak merasa dingin. Sapta menggigil. Meski sudah hampir tengah hari tapi cuaca masih seperti jam setengah 7 pagi. Begitu turun dari mobil aku segera mencari toilet, aku sudah sangat kebelet dari saat beli tiket masuk. Haduhhh...

Baiklah kita menuju spotnya, saat itu di sana sedang hujan, bukan rintik dan tidak pula lebat, Beruntungnya kang Dede menyediakan payung. Dia sengaja bawa payung mengingat pengalaman kemaren kami kehujanan saat di jalanan. Payungnya cantik berwarna warni. Manusia sangat ramaiiiii sekali sehingga untuk berjalanpun seperti gang senggol. Di muka tangga masuk beberapa petugas meneriaki agar kita membeli masker karena bau belerang dalam kondisi bahaya katanya. Mendengar hal itu aku meminta Sapta membeli masker yang dijajakan di depan pintu masuk, tetapi Sapta bilang gak usahlah bik Esi. Tidak apa-apa kok, biasa aja bau belerangnya. Tapi aku ngotot karena tahu sendirikan aku penderita asthma sangat peka terhadap bau. Akhirnya kami membeli juga 2 buah masker seharga 10 ribu rupiah. Dan setelah sampai di lokasi omongan Sapta bener, tak ada baupun.... hmmmm cipoa ah.

Untuk menuju lokasi kami harus menuruni tangga yang licin karena sedang hujan, dan pengunjung yang ramai membuat berjalan harus sedikit pelan. Lebih ribet lagi aku salah kostum hari ini, aku menggunakan gamis kaos yang jika basah bagian ujungnya dia akan melar memanjang. Haduhhhh...repot dibuatnya, harus memegang payung dan menyingsingkan ujung baju di tengah kepadatan dan jalan licin. Sampai di lokasi manusia menyemut, kabut tebal dan air pasang membuat view di area itu tidak terlihat apa-apa selain kabut putih. Dengan baju gamis basah yang memanjang dan menyapu tanah benar-benar membuat aku kehilangan selera buat ambil gambar. Kami berdiam diri sejenak membaca situasi, nampaknya kalau tidak memaksa untuk mengambil spot, pengunjung tidak mau saling pengertian memberikan giliran kepada yang lain untuk foto di spot yang menarik itu.

Akhirnya kami berjaga di spot yang menarik, dan bila pengunjung sudah beberapa kali foto kami bertanya, “sudah...belum mas, mbak, adek? Gantian ya...?”. Kalu tidak seperti itu gak dapet. Alhamdulillah.... bisa berfoto beberapa buah. Sempat juga berkenalan dengan wisatawan dari Malaysia. Memang di Kawah Putih banyak wisatawan manca negara seperti, Malaysia, Singapore, Jepang, Korea dan juga bule. Pengunjung semakin ramai berdatangan sehingga terasa tak ada lagi space yang tersisa untuk membuat kami nyaman mengambil foto. Kami memutuskan segera pergi dari area. Menuju area parkir aku harus sedikit menguras nafas menaiki tangga yang lumayan tinggi dan panjang. Ngik..ngik asthmaku sempat terdengar, tetapi semangat mengalahkan rasa itu. Sayangnya kami datang di waktu yang tidak tepat, kalau udara cerah view di Kawah Putih akan sangaattt indah menurut Sapta yang sudah sering ke sini karena dia cukup lama menetap di Bandung. Aku percaya kok. Aku sudah melihatnya via medsos dan google. Makanya aku menetapkan sebagai tujuan utama hari ini. Okelah belum rezeki...next time insyaa Allah kita berkunjung lagi.

Biar kata kabut dan gak kelihatan apa-apa bagiku foto ini tetap artistik dan kereennn
Meski hujan dan licin melompatpun wajib dilakukan demi action
Tadinya mau bergaya tapi pas lihat foto nuntun payung gini jadi kayak nenek nenek ahh...
Best places and view
Andai cuaca cerah foto di sini pasti bagusss
Bareng wisatawan Malysia, mereka dua sejoli...
Ribetnya saya ditangga ini..
Lalu selanjutnya mari kita menuju spot wisata yang membuat aku mupeng yaitu “Pinisi resto”. Memang sudah aku targetkan untuk makan siang di resto ini, menurut beberapa info para bloggermenu dan cita rasa masakan Pinisi resto maknyus.


PINISI RESTO
Bandung Selatan selama ini terkenal dengan kawah putih, hamparan kebun teh dan Situ patenggangnya yang sudah melegenda. Sekarang dikawasan danau Situ Patenggang telah hadir destinasi wisata baru yakni Glamping Lakeside Rancabali dengan restoran perahu pinisinya, yang menawarkan kemewahan dan keindahan alam terbuka dengan pemandangan langsung ke danau Situ patenggang.

Glamping sendiri singkatan dari Glamour Camping yaitu tetap mengedepankan kemping tetapi fasilitas yang dalam tenda sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Sehingga pengunjung menjadi nyaman tetapi tidak meninggalkan rasa kempingnya. Mulai dari pengadaan api unggun, barbeque , malam-malam bisa langsung melihat bintang dengan suasana yang masih alami. Yang menarik dari tempat wisata ini adalah fasilitas restoran yang berbentuk perahu pinisi. Perahu pinisi dengan panjang 46 meter dan lebar 12,5 meter ini berdiri dengan megah dan kokoh menjorok ke situ patenggang.

Mencapai area ini kami harus menempuh perjalanan yang cukup jauh setelah dari gerbang masuk. Perjalanan menanjak dengan kondisi jalan basah yang diaspal seadanya. Namun yang paling membahagiakan sepanjang perjalanan ini adalah pemandangan di kanan dan kiri jalan membentang hamparan kebun teh yang menghijau seluas mata memandang. Udara sejuk di tengah rintik hujan, cukup untuk memberikan charger bagi tubuh yang lelah dengan aroma suasana kantor yang kurang nyaman. Sepanjang perjalanan aku membuka kaca mobil dan tak henti menarik nafas dalam dalam seakan ingin menukar udara “stress” menjadi udara segar perkebunan teh. Hmmmm.... mau dah kalau harus disuruh menetap dan punya rumah di area ini. Damaiii....nyaman.

Sampai di pelataran parkir aku bertasbih demi melihat pemandangan sekeliling yang luar biasa indah. Danau jernih yang ada di bawah parkiran membentang indah, lantas bangunan berbentuk perahu yang ada di bukit, jembatan gantung penghubung dataran menuju pinisi resto, hamparan kebun teh sekeliling sungguh tatanan luar biasa dari ciptaan Allah. Maasyaa Allah... Allah...Allah...Allahu Akbar desis dalam nafasku. Kami segera turun dari mobil, aku mencari toilet sedangkan Sapta dan Kotada kusuruh untuk segera sholat Dzuhur plus Ashar.

View di sekitaran dari area parkir baper kan lihatnya
Selesai toilet visiting aku masih menunggu mereka yang sedang sholat di sebuah gerai yang menjajakan penganan khas Sunda. Aku cuma melihat-lihat saja, khawatir kalau beli pas santap siang sudah kehilangan selera. Tak berapa lama Sapta, Kotada dan kang Dede driver kami sudah selesai sholat. Dengan tidak sabaran aku segera mengajak untuk naik ke pinisi. Untuk mencapai pinisi resto kita harus melewati jembatan gantung yang cukup panjang, tapi sangat menarik. Berhubung kapasitas jembatan ini hanya mampu menampung 10 orang , maka kita harus antri. 3 orang petugas mengatur arus lalu lintas di jembatan ini, secara teratur petugas memberikan aba-aba giliran siapa yang boleh jalan dan giliran siapa yang harus menunggu, pembagian jatahnya cukup adil.

Jembatan gantung entry ke Pinisi Resto



Masih menikmati sensasi jembatan gantung ini

Akhirnya kami tiba juga di pinisi resto, pengunjung sangattt padat sehingga di sini mirip seperti pasar sayur. Bising dan riweh. Sebagian besar pengunjung yang heboh itu hanya numpang untuk berfoto ria, bukan makan. Kebanyakan yang hadir adalah group tour. Selain itu banyak juga wisatawan asing ini kusimpulkan dari bahasa mereka, bahkan ada wisatawan Malaysia yang bertemu di Kawah Putih pagi tadi.

Geladak kapal tempat makan yang indah viewnya

Orderannya baru datang sebagian

Masuk ke dalam resto kami agak sedikit bingung karena hampir tak ada petunjuk. Kami masuk dan mencari tempat duduk yang nyaman. Pilihan kami adalah di luar di beranda pinisi. Memang tempat duduk di luar agak sepi, dikarenakan hujan sehingga kursi dan mejanya basah, tapi aku suka karena bisa langsung memandang view sekitar yang luar biasa indah. Dapat tempat duduk kami bengong dan bingung kok tidak ada waiters yang menawarkan menu makan? Akhirnya Sapta masuk dan bertanya ke dapur dan loket makan. Sapta membawa menu. Macam menunya cukup banyak dari makanan tradisional Sunda sampai makanan western juga ada. Kami memilih masakan Sunda. Seporsi ayam bekakak yang terbuat dari 1 ekor ayam, sayur asam, tahu, ikan asin, sambel, karedok, 4 botol air mineral, segelas bandrek. Total uang yang harus dibayar 311 ribu rupiah. Mahal kali ya? Tapi bila dibanding saat kami tour ke luar negeri, murah dan biarlah berbagi rezeki buat masyarakat di sini dengan mata pencahariannya ini.

Sembari menunggu makanan datang, aku asyik mengamati tingkah laku pengunjung yang asyik mengambil foto di best view yaitu ujung lancipnya pinisi, mirip posisi film Titanic. Kuamati dengan khidmat, berucap istighfar aku melihat segerombolan ibu-ibu dengan seragam merah-merah yang tidak henti-henti foto dengan berbagai macam gaya. Mereka memonopoli area itu tanpa memberi kesempatan orang lain mendapatkan giliran. Sekitar 15 menit hidangan yang kami pesan diantar ke meja. Senang sekali melihat hidangan datang, berhubung aku sudah lemas dan sangat lapar sampai perut perih dan mau muntah. Menu yang disajikan di meja kami ludes tanpa bekas, dan yakin cita rasanya sangat enak, terutama karedoknya.

Menyelesaikan santap siang kami bersiap-siap untuk mengambil foto di best view, hmmm istighfarku makin kencang kudesiskan karena gerombolan ibu-ibu yang berseragam merah tadi belom juga selesai. Astgahfirullah... hampir 1 jam kali ngapain aja buuu.... mau foto gaya seperti apalagi toh??? Sapta bilang ayolah bik Esi naik saja dan mejeng saja disitu ccdt. Aku dan Kotada naik dan cuek bahkan taktik di Kawah Putih tadi kami pakai. Akhirnya pergi juga itu ibu-ibu. Usai mereka pergi pengunjung lainpun naik ke posisi itu, yah agak sulit memang untuk dapat best picture. Merasa kesulitan untuk foto aku memutuskan mengajak ke bawah saja, danau yang airnya jernih dan jembatan kayu memanjang menjorok ke danau itu menarik perhatianku dari tadi.



Mumpung di area ini gak ada yang minat foto saya foto duluan sembari nunggu rombongan ibu ibu yang gak selesai foto-foto sampai 1 jam lebih 
Sekenanya saja cari posisi biarpun bukan best view

Best view di Pinisi resto jadi inilah tempat foto antri itu
Coba lagi ambil fotonya tetep kurang pas
Sampai berkali-kali take tetep gak puas.. itu di bawah kami ibu yang baju merah masih nebeng 1 orang
Pintu masuk dan exit berbeda jalur, jika masuk kami harus melewati jembatan gantung maka saat exit harus turun ke bawah melewati kebun teh ke arah jembatan danau. Sepertinya sudah disetting begitu rutenya. Sampai ke tepi danau menaiki jembatan kayu itu banyak sekali pemilik boat menawarkan diri untuk mengantar mengelilingi danau. Berminat sih, harga yang harus dibayar untuk bisa naik boat itu per orang adalah 35 ribu rupiah. Jika sewa satu boat harganya 350 ribu rupiah. Aku memilih untuk bayar perorang saja. Pemilik boat langsung bilang harus tunggu penumpangnya penuh dulu bu. Aku balik tanya memangnya satu boat kapasitasnya berapa orang. Dia jawab 15 orang. Waduhhhhh berapa lama harus menunggu sampai full saat itu saja baru terdaftar 5 orang. Dia memaksa untuk sewa aja, ketika nego harga si bapak tidak mau turun satu rupiahpun. Hmmmm... ya sudah pak saya tunggu ngantri saja sambil foto-foto.

Jembatan ini adalah eye catching sejak awal bagiku karena indahnya...
View dan suasana di danau Situ Patenggang itu sungguh luar biasa terasa adem, jernih airnya, view pepohonan di sekitarnya... semua indah. Rasanya aku enggan beranjak dari sini. Hmmmmm.... apa boleh buat kami harus pergi ya danau indah. Bahkan sampai kami meninggalkan danau itu boat sewaan itu blom cukup penumpangnya dan gak berangkat sama sekali. Sayang ya bapak itu, tidak mengerti manajemen pemasaran beliau. Harusnya 5 orang tadi diangkut saja, aku juga sudah mau kok bayar sewanya seharga 250 ribu rupiah tadi, tapi dia keukeh. ....:((.

Danau ini sejuk dipandang
Kami beranjak menuju pelataran parkir melalu jalan setapak yang licin dan menanjak. Sulit sekali aku melewatinya berkali-kali terpeleset meski sudah dipegangi Sapta dan Kota. Kostumku yang sudah salah sejak awal. Ujung dress yang basah dan penuh tanah, kalau sepatu jangan ditanya deh coklat jadinya. Hmmm sayang belum tahu medan nih, kalau tahu aku pake boot yang ke Korea kemaren, yang tapaknya dapat mencengkram. Ya sudahlah.....!

Jalur pulang..... cukup jauh ke parkirannya
Setibanya di area parkir kang Dede masih antusias menawarkan mampir ke danau Situ Patenggang, tapi Sapta langsung menyela buat apa ke Situ Patenggang bik Esi. Itu danau yang ada jembatan tadi yah danau Situ Patenggang. Pemandangannya sama saja kok. Kupikir dan kuingat-ingat bener juga omongan Sapta waktu aku browsing di google viewnya memang sama. Ya sudahlah... hari sudah hampir sore pula, dan badanku terasa pegal alias sangat lelah. Kami memutuskan hanya tinggal ke 1 tujuan wisata lagi saja yaitu memetik strawberry di kebunnya. Sipppplah...supaya bisa pulang agak sorean dan masih bisa jalan-jalan di dalam kota Bandung, kulineran, ngemall.

Kami turun ke bawah mencari wisata kebun strawberry seperti pernah aku lihat diupload temanku Oscar di Path miliknya. Tidak berjumpa. Aku bilang bahwa temanku itu masuk ke dalam tempat seperti resto yang di depannya ada kebun strawberry. Kang Dede mencari dan keluar masuk tempat seperti dalam deskripsiku, dan akhirnya kami masuk ke rest area yang ada dan tersedia fasilitas membeli strawberry dengan memetiknya langsung. Sayangnya masuk lokasi ini dan di tempat lain yang tadi kami singgahi memang belum musim buah strawberry sehingga buahnya masih kecil dan hijau. Ahhhh... kecewa saya, kami hanya numpang foto-foto sebentar dan langsung pergi.

Petik strawberry...
Rumah-rumah yang disewakan untuk penginapan diseputaran Ciwidey, view yang indah, jadi mupeng punya rumah di area ini buat menghabiskan masa tua saya


Perkebunan teh yang membentang luas jadi pemandangan sangat menarik sepanjang perjalanan pulang
Kembali menuju ke arah Bandung kami sempat mampir ke pusat penjualan oleh-oleh khas Ciwidey yaitu manisan kulit jeruk Bali. Tadinya gak niat membeli tapi gak enak dengan kang Dede dia berulangkali menawarkan beli souvenir khas daerah Bandung. Aku mengerti kalau dia membawa pengunjung ke kedai souvenir dia toh akan dapat fee. Ya sudahlah aku mampir... dan membeli tidak banyak. Lalu lintas ke arah Bandung macet parah, karena orang Jakarta mulai berdatangan untuk week end. Kami masih sempat mampir ke terminal Leuwi Panjang untuk ke kedai pusat oleh-oleh khas Bandung seperti keripik tempe dsb, inipun atas permintaan kang Dede. Yang tadinya gak minat ternyata memborong cukup banyak oleh-oleh. Beruntungnya belanjaan bisa dikemas dalam kotak, sehingga besok bisa langsung masuk bagasi saja.

Toko oleh0oleh jajanan khas Bandung di Leuwi Panjang
Selanjutnya atas permintaanku untuk dianter mencicipi jajanan khas Bandung apa saja misalnya Cuangki, Somay, Batagor atau Bakso,kami mampir ke kedai Bakso Enggal. Tempat ini dipilih karena daerahnya masih bebas macet dan gak antri. Yupppp...mantap rasa baksonya maknyusss. Dan terakhir untuk memuaskan hasrat penasaran aku minta di drop saja oleh kang dede ke rumah mode. Tempat ini direkomendasikan oleh yuk Erni dan Roni. Jalanan kota Bandung macet luar biasa, kendaraan ber plat B memenuhi jalan raya. Sulit mencari jalan yang tidak macet, bahkan melalui google map terlihat semua jalur memerah. Kang Dede agak sedikit jengkel sepertinya karena aku minta turun di rumah mode, karena jalur ke sana macet parah. Dan meski lambat kami tibalah di rumah mode. Ramaiiiiii.... sekali pengunjungnya.

Diluar ekspektasiku rumah mode itu gak ada apa-apanya, hanya store kecil yang menjual pakaian bukan untuk konsumsi aku. Pakaian yang biasa dipakai kaum etnis , seksi, ketat dan mini. Di arena itu terdapat banyak kedai menjajakan makanan ala western dengan desain interiornya yang kebarat-baratan. Nampaknya tempat ini adalah tempat kongkow kaum borjuis. Haduhhhh nyesel sudah macet-macetan rupanya cuma seperti ini, kami numpang ke toilet sebentar dan pulang. Memanggil taksi online tidak ada yang menyahut dan menyediakan layanan, yaitu karena macet mana mau mereka. Rugilah..karena taksi online basis perhitungannya jarak bukan waktu. Dannn terpaksa kami kembali berjalan kaki menuju hotel. Lumayanlah seiktar 10 – 15 menitan tidak jauh sih, tapi di sisa akhir tenaga terasa sangat menyiksa.

Nunggu yang lagi ke toilet. Ini salah satu pojokan di Rumah Mode
Jam 8 kurang seperempat kami sudah sampai ke hotel, bergegas mandi dan bersuci karena aku sudah bisa mulai melaksanakan sholat. Habis sholat aku packing, bukankah besok liburan kami usai. Akhirnya tidur.....sampai besok ya rute perjalanan hari terakhir. Selamat malam.