Sabtu, 8 April 2017
Pagi ini , badan terasa segar karena semalam sudah lumayan nyenyak tidurku. Psikisnya sudah menyesuaikan diri. Masih seperti kemaren, hari ini perjanjian dengan kang Dede akan berangkat lebih pagi, jam setengah 7, mengingat ini hari Sabtu dan tujuan kita cukup jauh plus biasanya bila Sabtu penduduk Jakarta akan memadati kota Bandung untuk relaksasi. Jadi jam 6 pun kami sudah turun ke bawah menanti sembari sarapan di warung tenda depan hotel. Sarapan pilihan kami hari ini adalah Kupat tahu. Enak, yummy dan murah. Satu piring kupat tahu dihargai 8 ribu rupiah saja, minumnya teh hangat gratis....
Oh iya ada catatan penting nih, di Bandung setiap kali kita makan entah itu di warung ataupun resto air teh tawar pasti dikasih dan gratis. Kejadian lucu ini terjadi saat hari pertama kami makan di resto ikan (saya teh poho catet nama restonya yah..!), pas ditanya mau minum apa aku bilang teh tawar panas. Eh pelayannya masih aja tanya... minum apa? Aku jawab lagi teh tawar panas. Iya bu...kalu teh tawar panas pasti dikasih gratisss. Hahaaaa....ohhh bener saja pas penyajian ada 3 gelas teh tawar panas meskipun Sapta dan Kotada sudah memesan es jeruk. Hmmmmm.... minuman pokok teh tawar itu. Persis di Turki dong, setiap makan kita pasti dikasih teh tawar panas.
Habis makan Kupat tahu waktu sudah menunjukkan jam 7 pas, tapi kang Dede masih belum nampak juga. Daripada nunggu aku naik lagi ke kamar dan biasalah toilet visiting. Dan sampai jam 8 kurang 5 driver masih belum nampak, Sapta sudah sangat kesal karena di telpon gak nyambung. Kalau kemaren alasan dia telat karena harus ke kantor dulu pinjam uang buat bensin. Nah hari ini alasan apalagi bukankah kemaren aku sudah ngasih uang 500 ribu? Entahlah.... ! Inilah bedanya tour dalam negeri ngaretnya itu kagak nahan. Bedanya kalau di luar negeri driver, tour guide on time malah pesertanya yang lelet, sampai saat di Eropah driver sempat ngamuk-ngamuk karena peserta selalu lelet. Hmmmmm.....
Jam 8 lewat 10 kang Dede baru menampakkan batang hidungnya. Sapta sudah memperlihatkan muka garang, aku diam saja ketika melihat kang Dede salah tingkah dicuekin Sapta dan Kotada saat dia mengajak berbincang. Dua anak laki-laki ini memilih tidur di perjalanan. Hanya ku yang sesekali menjawab obrolan kang Dede. Kalau menurut kesimpulanku dia ini emang bangun kesiangan, aku lihat di dashboard depan itu ada bungkusan yang berisi sarapan dia, ini artinya dia gak sempet sarapan pagi tadi. Hpnya gak diangkat karena dia memang belum bangun. Kesel juga sih sebenarnya aku. Dalam suasana kaku kami melaju ke arah Ciwidey, tujuan utamanya adalah Kawah Putih.
Panjang juga perjalanan ke arah sana hampir 3 jam. Sepanjang perjalanan memang tidak begitu macet tapi mobil tak bisa dipacu dengan kecepatan penuh, karena kondisi jalan yang rusak dan banyak longsor di sana sini. Menurut kang Dede area Ciwidey memang tidak terlalu banyak yang meminati mengingat perjalanannya jauh. Warga Jakarta saat week end biasanya hanya memilih area Lembang karena relatif dekat. Kecuali jika hari libur terjepit maka segala area akan dipenuhi warga Jakarta.
KAWAH PUTIH
Kawah Putih adalah sebuah danau yang terbentuk akibat dari letusan Gunung Patuha. Sesuai dengan namanya, tanah yang ada di kawasan ini berwarna putih akibat dari pencampuran unsur belerang. Selain tanahnya yang berwarna putih, air danau kawasan Kawah Putih juga mempunyai warna yang putih kehijauan dan dapat berubah warna sesuai dengan kadar belerang yang terkandung, suhu, dan cuaca.
Kawah Putih Ciwidey berada di kawasan pegunungan yang mempunyai ketinggian lebih dari 2.400 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian tersebut, suhu udara di kawasan Kawah putih tentu saja dingin dengan suhu 8 derajat Celsius sampai dengan 22 derajat Celsius.
Cerita mengenai Kawah Putih bermula pada abad ke 10 di mana terjadi sebuah letusan hebat oleh Gunung Patuha. Setelah letusan ini, banyak orang beranggapan bahwa lokasi ini adalah kawasan angker karena setiap burung yang terbang melewati kawasan tersebut akan mati. Seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan mengenai angkernya tempat ini mulai pudar, sampai akhirnya pada tahun 1837 ada seorang ahli botani dengan kebangsaan Jerman datang ke kawasan ini untuk melakukan penelitian.
Peneliti yang bernama Dr. Franz Wilhelm Junghuhn tersebut sangat tertarik dengan kawasan pegunungan sunyi yang bahkan tidak ada burung yang terbang di atasnya sehingga ia berkeliling desa untuk mencari informasi. Pada saat itu, seluruh informasi yang ia dapatkan adalah bahwa kasawan tersebut angker dan dihuni oleh mahluk halus.
Bagi Dr. Franz Wilhelm Junghuhn, pernyataan masyarakat setempat tersebut tidaklah masuk akal. Karena tidak percaya dengan cerita-cerita tersebut, ia pergi ke dalam hutan rimba untuk mencari tahu apa yang ada di sana. Singkat cerita, akhirnya Dr. Franz Wilhelm Junghuhn berhasil mencapai puncak gunung, dan dari sana ia melihat keberadaan sebuah danau indah berwarna putih dengan bau belerang yang menyengat.
Tiket untuk beberapa area wisata sekitaran Ciwidey dibeli di muka, disebuah resto pinggir jalan. Untuk total harga tiket bertiga kami mebayar sebesar 275 ribu rupiah, tiket diberikan dalam bentuk kartu magnetik yang dapat dipakai ke seluruh area wisata seputaran Ciwidey kecuali Situ Patenggang harus bayar lagi, karena tidak masuk dalam sistem interkoneksi penyelenggara. Sedangkan parkir mobil harus bayar lagi sebesar 10 ribu rupiah untuk setiap area wisata. Menuju Kawah Putih kami melewati sebuah hutan yang view dan ekosistem habitat pepohonannya sangat menyejukkan mata,karena sejauh mata memandang adalah hijau. Aku sangat suka aroma sekitar hutan (selama di Bandung kami hampir tidak pernah memakai AC baik di mobil maupun hotel. Kami sengaja membuka kaca mobil agar dapat menghirup sejuknya udara). Jalan menanjak ditengah hujan yang cukup lebat, kabut menyelimuti jalanan. Bau khas belerang mulai tercium meskipun lokasinya masih cukup jauh.
Sepanjang perjalanan banyak sekali mobil-mobil yang mogok karena memang jalannya sangat curam (terutama angkutan umum yang disediakan untuk mencapai lokasi bagi pengunjung yang tidak mengendarai kendaraan pribadi). Aku berdoa agar mobil kami kuat dan tidak mogok, karena kalau mogok serem juga berhenti di tengah hutan begini, apalagi harus jalan kaki menanjak untuk sampai ke lokasi. Bisa gempor saya. Suara jangkrik dan binatang-binatang hutan bersahut-sahutan menambah indahnya perjalanan.
Meski laju mobil kami lambat, akhirnya setelah menempuh jalanan curam dan basah, jam 11.30 sampai juga kami di pelataran parkir pengunjung. Udara dingin menyergap (tapi tetep masih dingin di Korea hehehe...) jadi aku dan Kotada tidak merasa dingin. Sapta menggigil. Meski sudah hampir tengah hari tapi cuaca masih seperti jam setengah 7 pagi. Begitu turun dari mobil aku segera mencari toilet, aku sudah sangat kebelet dari saat beli tiket masuk. Haduhhh...
Baiklah kita menuju spotnya, saat itu di sana sedang hujan, bukan rintik dan tidak pula lebat, Beruntungnya kang Dede menyediakan payung. Dia sengaja bawa payung mengingat pengalaman kemaren kami kehujanan saat di jalanan. Payungnya cantik berwarna warni. Manusia sangat ramaiiiii sekali sehingga untuk berjalanpun seperti gang senggol. Di muka tangga masuk beberapa petugas meneriaki agar kita membeli masker karena bau belerang dalam kondisi bahaya katanya. Mendengar hal itu aku meminta Sapta membeli masker yang dijajakan di depan pintu masuk, tetapi Sapta bilang gak usahlah bik Esi. Tidak apa-apa kok, biasa aja bau belerangnya. Tapi aku ngotot karena tahu sendirikan aku penderita asthma sangat peka terhadap bau. Akhirnya kami membeli juga 2 buah masker seharga 10 ribu rupiah. Dan setelah sampai di lokasi omongan Sapta bener, tak ada baupun.... hmmmm cipoa ah.
Untuk menuju lokasi kami harus menuruni tangga yang licin karena sedang hujan, dan pengunjung yang ramai membuat berjalan harus sedikit pelan. Lebih ribet lagi aku salah kostum hari ini, aku menggunakan gamis kaos yang jika basah bagian ujungnya dia akan melar memanjang. Haduhhhh...repot dibuatnya, harus memegang payung dan menyingsingkan ujung baju di tengah kepadatan dan jalan licin. Sampai di lokasi manusia menyemut, kabut tebal dan air pasang membuat view di area itu tidak terlihat apa-apa selain kabut putih. Dengan baju gamis basah yang memanjang dan menyapu tanah benar-benar membuat aku kehilangan selera buat ambil gambar. Kami berdiam diri sejenak membaca situasi, nampaknya kalau tidak memaksa untuk mengambil spot, pengunjung tidak mau saling pengertian memberikan giliran kepada yang lain untuk foto di spot yang menarik itu.
Akhirnya kami berjaga di spot yang menarik, dan bila pengunjung sudah beberapa kali foto kami bertanya, “sudah...belum mas, mbak, adek? Gantian ya...?”. Kalu tidak seperti itu gak dapet. Alhamdulillah.... bisa berfoto beberapa buah. Sempat juga berkenalan dengan wisatawan dari Malaysia. Memang di Kawah Putih banyak wisatawan manca negara seperti, Malaysia, Singapore, Jepang, Korea dan juga bule. Pengunjung semakin ramai berdatangan sehingga terasa tak ada lagi space yang tersisa untuk membuat kami nyaman mengambil foto. Kami memutuskan segera pergi dari area. Menuju area parkir aku harus sedikit menguras nafas menaiki tangga yang lumayan tinggi dan panjang. Ngik..ngik asthmaku sempat terdengar, tetapi semangat mengalahkan rasa itu. Sayangnya kami datang di waktu yang tidak tepat, kalau udara cerah view di Kawah Putih akan sangaattt indah menurut Sapta yang sudah sering ke sini karena dia cukup lama menetap di Bandung. Aku percaya kok. Aku sudah melihatnya via medsos dan google. Makanya aku menetapkan sebagai tujuan utama hari ini. Okelah belum rezeki...next time insyaa Allah kita berkunjung lagi.
|
Biar kata kabut dan gak kelihatan apa-apa bagiku foto ini tetap artistik dan kereennn |
|
Meski hujan dan licin melompatpun wajib dilakukan demi action |
|
Tadinya mau bergaya tapi pas lihat foto nuntun payung gini jadi kayak nenek nenek ahh... |
|
Best places and view |
|
Andai cuaca cerah foto di sini pasti bagusss |
|
Bareng wisatawan Malysia, mereka dua sejoli... |
|
Ribetnya saya ditangga ini.. |
Lalu selanjutnya mari kita menuju spot wisata yang membuat aku mupeng yaitu “Pinisi resto”. Memang sudah aku targetkan untuk makan siang di resto ini, menurut beberapa info para bloggermenu dan cita rasa masakan Pinisi resto maknyus.
PINISI RESTO
Bandung Selatan selama ini terkenal dengan kawah putih, hamparan kebun teh dan Situ patenggangnya yang sudah melegenda. Sekarang dikawasan danau Situ Patenggang telah hadir destinasi wisata baru yakni Glamping Lakeside Rancabali dengan restoran perahu pinisinya, yang menawarkan kemewahan dan keindahan alam terbuka dengan pemandangan langsung ke danau Situ patenggang.
Glamping sendiri singkatan dari Glamour Camping yaitu tetap mengedepankan kemping tetapi fasilitas yang dalam tenda sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Sehingga pengunjung menjadi nyaman tetapi tidak meninggalkan rasa kempingnya. Mulai dari pengadaan api unggun, barbeque , malam-malam bisa langsung melihat bintang dengan suasana yang masih alami. Yang menarik dari tempat wisata ini adalah fasilitas restoran yang berbentuk perahu pinisi. Perahu pinisi dengan panjang 46 meter dan lebar 12,5 meter ini berdiri dengan megah dan kokoh menjorok ke situ patenggang.
Mencapai area ini kami harus menempuh perjalanan yang cukup jauh setelah dari gerbang masuk. Perjalanan menanjak dengan kondisi jalan basah yang diaspal seadanya. Namun yang paling membahagiakan sepanjang perjalanan ini adalah pemandangan di kanan dan kiri jalan membentang hamparan kebun teh yang menghijau seluas mata memandang. Udara sejuk di tengah rintik hujan, cukup untuk memberikan charger bagi tubuh yang lelah dengan aroma suasana kantor yang kurang nyaman. Sepanjang perjalanan aku membuka kaca mobil dan tak henti menarik nafas dalam dalam seakan ingin menukar udara “stress” menjadi udara segar perkebunan teh. Hmmmm.... mau dah kalau harus disuruh menetap dan punya rumah di area ini. Damaiii....nyaman.
Sampai di pelataran parkir aku bertasbih demi melihat pemandangan sekeliling yang luar biasa indah. Danau jernih yang ada di bawah parkiran membentang indah, lantas bangunan berbentuk perahu yang ada di bukit, jembatan gantung penghubung dataran menuju pinisi resto, hamparan kebun teh sekeliling sungguh tatanan luar biasa dari ciptaan Allah. Maasyaa Allah... Allah...Allah...Allahu Akbar desis dalam nafasku. Kami segera turun dari mobil, aku mencari toilet sedangkan Sapta dan Kotada kusuruh untuk segera sholat Dzuhur plus Ashar.
|
View di sekitaran dari area parkir baper kan lihatnya |
Selesai toilet visiting aku masih menunggu mereka yang sedang sholat di sebuah gerai yang menjajakan penganan khas Sunda. Aku cuma melihat-lihat saja, khawatir kalau beli pas santap siang sudah kehilangan selera. Tak berapa lama Sapta, Kotada dan kang Dede driver kami sudah selesai sholat. Dengan tidak sabaran aku segera mengajak untuk naik ke pinisi. Untuk mencapai pinisi resto kita harus melewati jembatan gantung yang cukup panjang, tapi sangat menarik. Berhubung kapasitas jembatan ini hanya mampu menampung 10 orang , maka kita harus antri. 3 orang petugas mengatur arus lalu lintas di jembatan ini, secara teratur petugas memberikan aba-aba giliran siapa yang boleh jalan dan giliran siapa yang harus menunggu, pembagian jatahnya cukup adil.
|
Jembatan gantung entry ke Pinisi Resto |
|
Masih menikmati sensasi jembatan gantung ini |
Akhirnya kami tiba juga di pinisi resto, pengunjung sangattt padat sehingga di sini mirip seperti pasar sayur. Bising dan riweh. Sebagian besar pengunjung yang heboh itu hanya numpang untuk berfoto ria, bukan makan. Kebanyakan yang hadir adalah group tour. Selain itu banyak juga wisatawan asing ini kusimpulkan dari bahasa mereka, bahkan ada wisatawan Malaysia yang bertemu di Kawah Putih pagi tadi.
|
Geladak kapal tempat makan yang indah viewnya |
|
Orderannya baru datang sebagian |
Masuk ke dalam resto kami agak sedikit bingung karena hampir tak ada petunjuk. Kami masuk dan mencari tempat duduk yang nyaman. Pilihan kami adalah di luar di beranda pinisi. Memang tempat duduk di luar agak sepi, dikarenakan hujan sehingga kursi dan mejanya basah, tapi aku suka karena bisa langsung memandang view sekitar yang luar biasa indah. Dapat tempat duduk kami bengong dan bingung kok tidak ada waiters yang menawarkan menu makan? Akhirnya Sapta masuk dan bertanya ke dapur dan loket makan. Sapta membawa menu. Macam menunya cukup banyak dari makanan tradisional Sunda sampai makanan western juga ada. Kami memilih masakan Sunda. Seporsi ayam bekakak yang terbuat dari 1 ekor ayam, sayur asam, tahu, ikan asin, sambel, karedok, 4 botol air mineral, segelas bandrek. Total uang yang harus dibayar 311 ribu rupiah. Mahal kali ya? Tapi bila dibanding saat kami tour ke luar negeri, murah dan biarlah berbagi rezeki buat masyarakat di sini dengan mata pencahariannya ini.
Sembari menunggu makanan datang, aku asyik mengamati tingkah laku pengunjung yang asyik mengambil foto di best view yaitu ujung lancipnya pinisi, mirip posisi film Titanic. Kuamati dengan khidmat, berucap istighfar aku melihat segerombolan ibu-ibu dengan seragam merah-merah yang tidak henti-henti foto dengan berbagai macam gaya. Mereka memonopoli area itu tanpa memberi kesempatan orang lain mendapatkan giliran. Sekitar 15 menit hidangan yang kami pesan diantar ke meja. Senang sekali melihat hidangan datang, berhubung aku sudah lemas dan sangat lapar sampai perut perih dan mau muntah. Menu yang disajikan di meja kami ludes tanpa bekas, dan yakin cita rasanya sangat enak, terutama karedoknya.
Pintu masuk dan exit berbeda jalur, jika masuk kami harus melewati jembatan gantung maka saat exit harus turun ke bawah melewati kebun teh ke arah jembatan danau. Sepertinya sudah disetting begitu rutenya. Sampai ke tepi danau menaiki jembatan kayu itu banyak sekali pemilik boat menawarkan diri untuk mengantar mengelilingi danau. Berminat sih, harga yang harus dibayar untuk bisa naik boat itu per orang adalah 35 ribu rupiah. Jika sewa satu boat harganya 350 ribu rupiah. Aku memilih untuk bayar perorang saja. Pemilik boat langsung bilang harus tunggu penumpangnya penuh dulu bu. Aku balik tanya memangnya satu boat kapasitasnya berapa orang. Dia jawab 15 orang. Waduhhhhh berapa lama harus menunggu sampai full saat itu saja baru terdaftar 5 orang. Dia memaksa untuk sewa aja, ketika nego harga si bapak tidak mau turun satu rupiahpun. Hmmmm... ya sudah pak saya tunggu ngantri saja sambil foto-foto.
|
Jembatan ini adalah eye catching sejak awal bagiku karena indahnya... |
View dan suasana di danau Situ Patenggang itu sungguh luar biasa terasa adem, jernih airnya, view pepohonan di sekitarnya... semua indah. Rasanya aku enggan beranjak dari sini. Hmmmmm.... apa boleh buat kami harus pergi ya danau indah. Bahkan sampai kami meninggalkan danau itu boat sewaan itu blom cukup penumpangnya dan gak berangkat sama sekali. Sayang ya bapak itu, tidak mengerti manajemen pemasaran beliau. Harusnya 5 orang tadi diangkut saja, aku juga sudah mau kok bayar sewanya seharga 250 ribu rupiah tadi, tapi dia keukeh. ....:((.
|
Danau ini sejuk dipandang |
Kami beranjak menuju pelataran parkir melalu jalan setapak yang licin dan menanjak. Sulit sekali aku melewatinya berkali-kali terpeleset meski sudah dipegangi Sapta dan Kota. Kostumku yang sudah salah sejak awal. Ujung dress yang basah dan penuh tanah, kalau sepatu jangan ditanya deh coklat jadinya. Hmmm sayang belum tahu medan nih, kalau tahu aku pake boot yang ke Korea kemaren, yang tapaknya dapat mencengkram. Ya sudahlah.....!
|
Jalur pulang..... cukup jauh ke parkirannya |
Setibanya di area parkir kang Dede masih antusias menawarkan mampir ke danau Situ Patenggang, tapi Sapta langsung menyela buat apa ke Situ Patenggang bik Esi. Itu danau yang ada jembatan tadi yah danau Situ Patenggang. Pemandangannya sama saja kok. Kupikir dan kuingat-ingat bener juga omongan Sapta waktu aku browsing di google viewnya memang sama. Ya sudahlah... hari sudah hampir sore pula, dan badanku terasa pegal alias sangat lelah. Kami memutuskan hanya tinggal ke 1 tujuan wisata lagi saja yaitu memetik strawberry di kebunnya. Sipppplah...supaya bisa pulang agak sorean dan masih bisa jalan-jalan di dalam kota Bandung, kulineran, ngemall.
Kami turun ke bawah mencari wisata kebun strawberry seperti pernah aku lihat diupload temanku Oscar di Path miliknya. Tidak berjumpa. Aku bilang bahwa temanku itu masuk ke dalam tempat seperti resto yang di depannya ada kebun strawberry. Kang Dede mencari dan keluar masuk tempat seperti dalam deskripsiku, dan akhirnya kami masuk ke rest area yang ada dan tersedia fasilitas membeli strawberry dengan memetiknya langsung. Sayangnya masuk lokasi ini dan di tempat lain yang tadi kami singgahi memang belum musim buah strawberry sehingga buahnya masih kecil dan hijau. Ahhhh... kecewa saya, kami hanya numpang foto-foto sebentar dan langsung pergi.
|
Petik strawberry... |
|
Rumah-rumah yang disewakan untuk penginapan diseputaran Ciwidey, view yang indah, jadi mupeng punya rumah di area ini buat menghabiskan masa tua saya |
|
Perkebunan teh yang membentang luas jadi pemandangan sangat menarik sepanjang perjalanan pulang |
Kembali menuju ke arah Bandung kami sempat mampir ke pusat penjualan oleh-oleh khas Ciwidey yaitu manisan kulit jeruk Bali. Tadinya gak niat membeli tapi gak enak dengan kang Dede dia berulangkali menawarkan beli souvenir khas daerah Bandung. Aku mengerti kalau dia membawa pengunjung ke kedai souvenir dia toh akan dapat fee. Ya sudahlah aku mampir... dan membeli tidak banyak. Lalu lintas ke arah Bandung macet parah, karena orang Jakarta mulai berdatangan untuk week end. Kami masih sempat mampir ke terminal Leuwi Panjang untuk ke kedai pusat oleh-oleh khas Bandung seperti keripik tempe dsb, inipun atas permintaan kang Dede. Yang tadinya gak minat ternyata memborong cukup banyak oleh-oleh. Beruntungnya belanjaan bisa dikemas dalam kotak, sehingga besok bisa langsung masuk bagasi saja.
|
Toko oleh0oleh jajanan khas Bandung di Leuwi Panjang |
Selanjutnya atas permintaanku untuk dianter mencicipi jajanan khas Bandung apa saja misalnya Cuangki, Somay, Batagor atau Bakso,kami mampir ke kedai Bakso Enggal. Tempat ini dipilih karena daerahnya masih bebas macet dan gak antri. Yupppp...mantap rasa baksonya maknyusss. Dan terakhir untuk memuaskan hasrat penasaran aku minta di drop saja oleh kang dede ke rumah mode. Tempat ini direkomendasikan oleh yuk Erni dan Roni. Jalanan kota Bandung macet luar biasa, kendaraan ber plat B memenuhi jalan raya. Sulit mencari jalan yang tidak macet, bahkan melalui google map terlihat semua jalur memerah. Kang Dede agak sedikit jengkel sepertinya karena aku minta turun di rumah mode, karena jalur ke sana macet parah. Dan meski lambat kami tibalah di rumah mode. Ramaiiiiii.... sekali pengunjungnya.
Diluar ekspektasiku rumah mode itu gak ada apa-apanya, hanya store kecil yang menjual pakaian bukan untuk konsumsi aku. Pakaian yang biasa dipakai kaum etnis , seksi, ketat dan mini. Di arena itu terdapat banyak kedai menjajakan makanan ala western dengan desain interiornya yang kebarat-baratan. Nampaknya tempat ini adalah tempat kongkow kaum borjuis. Haduhhhh nyesel sudah macet-macetan rupanya cuma seperti ini, kami numpang ke toilet sebentar dan pulang. Memanggil taksi online tidak ada yang menyahut dan menyediakan layanan, yaitu karena macet mana mau mereka. Rugilah..karena taksi online basis perhitungannya jarak bukan waktu. Dannn terpaksa kami kembali berjalan kaki menuju hotel. Lumayanlah seiktar 10 – 15 menitan tidak jauh sih, tapi di sisa akhir tenaga terasa sangat menyiksa.
|
Nunggu yang lagi ke toilet. Ini salah satu pojokan di Rumah Mode |
Jam 8 kurang seperempat kami sudah sampai ke hotel, bergegas mandi dan bersuci karena aku sudah bisa mulai melaksanakan sholat. Habis sholat aku packing, bukankah besok liburan kami usai. Akhirnya tidur.....sampai besok ya rute perjalanan hari terakhir. Selamat malam.
No comments:
Post a Comment