Tuesday, 19 February 2019

MENGEJAR SUNRISE DI BUKIT PENANJAKAN

Kendaraan travel yang kami tumpangi melaju cepat membelah malam, lancar karena memang sudah sangat larut, tetapi masih terjadi kemacetan di beberapa lajur tol karena truk-truk besar pengangkut barang memang aturannya keluar malam. Tidak seperti yang aku bayangkan ternyata lintasan jalur menuju area bromo itu jauh sekali, disamping itu udara malam sangat dingin sekali. Beberapa kali kami berhenti di tempat-tempat tertentu untuk buang air kecil, malah Ade sempat mampir di sebuah kedai kecil penjual kopi. Atik dan Kotada tertidur nyenyak di dalam mobil. Sedang aku hanya tertidur ayam, jika berhenti karena lampu merah atau apalah aku terbangun, dan berharap kita sudah sampai di lokasi (hahahahh... sudah gak sabaran untuk menyaksikan sunrise).

Di setiap pemberhentian aku selalu mendengar teriakan para pedagang menawarkan sewa jeep, pakaian penghangat seperti jaket, syal, sarung tangan dan sebagainya. Aku berpikir sudah hampir dekat lokasi ternyata tidak. Memang itulah mata pencaharian penduduk sekitar. Aku salut sekali melihat kegigihan mereka ditengah malam dingin membeku, di saat setiap makhluk sedang tidur nyenyak mereka berkeliaran mengais rezeki. Aku trenyuh dan kasihan....tapi nasihat mas Andy agar terus berhati-hati karena tangan mereka agak gesit menyelamatkan barang-barang pelancong untuk dialih tangankan ke kantong mereka. Waduh...!

Derap roda mobil dan kepala kami yang terangguk kebawah kemudian diluruskan kembali karena tertidur sepanjang perjalanan akhirnya harus dibangunkan juga. Tepat jam 1 malam kami sampai di sebuah lokasi yang di situ terdapat beberapa ruko. Suasana gelap gulita hanya ada 1 buah bola lampu di sana. Kami turun dan mas Andy mempersilahkan kami mempersiapkan diri untuk mengenakan pakaian penangkal dingin. Rupanya itu adalah meeting point bagi travel guide untuk menyerahkan tamunya kepada driver jeep untuk diantar ke bungkit penanjakan tempat berburu sunrise.

Setelah kami membuka koper dan memakai semua peralatan winter trip, mas Andy mempersilahkan kami masuk mobil lagi dan melanjutkan tidur. Dia bilang mas Donny (sang driver jeep akan datang sekitar jam 2). Ternyata cukup lama juga Donny datang, tepat jam 3 barulah terlihat jeep kuning yang dikendarainya datang. Kami segera naik dan memulai perjalanan menuju puncak penanjakan. Ditengah malam dan gelap gulita, dimana sumber pencahayaan hanyalah lampu jeep yang melintas. Jalan berkelok, berlubang dan menanjak merupakan suatu sensasi baru aku rasakan, tapi lucunya kondisi seperti itu kulihat mereka bertiga Ade, Atik dan Kotada tertidur nyenyak dan terantuk-antuk. Haaaahhaaaa... aku tak bisa tidur, karena aku ingin menyaksikan sendiri apa yang ada disekitar supaya bisa mendeskripsikannya di blog. Dikiri-kanan jalan aku melihat lebatnya hutan pinus, di beberapa tempat perkebunan sayur, bunga warna warni. Aku menyaksikannya dengan cermat meskipun keadaan remang-remang.

Mungkin sekitar 30 - 45 menit kami sampai di sebuah area yang padat merayap. Ramai sekali kayak pasar tradisional menjelang Ibdul Fitri. Mas Donny menerangkan bahwa sepertinya sulit untuk sampai ke bukit Penanjakan 1 karena jeep-jeep dan manusia sudah tumpah ruah di jalan itu. Sebaiknya turun saja di situ (bukit Cinta). Aku yang sudah brwosing tentang dimana view yang paling menarik untuk menikmati sunrise agak ngotot tetap ingin ke atas. Tapi setelah melihat kondisi macet parah itu aku mulai bernego lagi, bagaimana tipsnya agar aku tetap bisa ke atas meski tanpa jeep. Donny bilang yah... paling naik ojek (aduhhh... naik motor aja aku takut), masih keukeh kutanya lagi berapa biaya ojek. Dijawab Rp. 50.000,- . Tuiinngg...aku diam! Trus tetep keukeh bilang kalau jalan kaki?? Jauhlah bu....mana macet!

Kami terpaksa turun juga! Pas turun aku segera mengurungkan kegigihanku untuk naik ke atas dengan berjalan kaki karena udara sumpek bau gas buangan jeep sangat mempolusi dan menyesakkan. Yo wis... di sini aja! Kami bergegas jalan, tanpa pemandu jalan kami bingung arahnya kemana. Cuma terlihat papan nama besar "Love Hill" trus kemana lagi??? Agak dibawah ada sebuah kedai kopi agak besar di situ tumplek banyak sekali manusia. Pas lagi kebingungan dekat plag "Love Hill" tiba-tiba ada seorang bapak menawarkan jasa ke atas. Maksudnya memandu kemana kami harus menunggu sunrise. Karena bingung aku menyetujui saja tawaran bapak tersebut, toh impossible juga kami bisa naik ke atas tanpa cahaya. Kami lupa mengeluarkan senter dari koper saat tadi ambil perlengkapan anti dingin. Biaya yang diminta sebesar 50 ribu rupiah. Besar sih tapi aku pikir sudahlah tak apa kasihan juga toh bapak tersebut sudah tua.

Baru melangkah 5 atau 6 tapak menanjak eh... tiba-tiba Atik mau pingsan dan muntah-muntah. Waduh...aku cemas! Bakal batal lihat sunrise nih! Akhirnya diputuskan Ade dan Atik turun lagi saja menuju kedai kopi yang ramai tadi. Aku dan Kotada lanjut. Dan lebih kagetnya lagi adalah baru beberapa langkah saja tak sampai 10 menit naik si bapak bilang disinilah posisi yang paling bagus dan tepat buat lihat sunrise. Yang benar pak...? Aku bertanya memastikan. Beliau bilang iya meyakinkan kami. Bahkan beliau menunjukan duduklah di sini saja, karena dari posisi ini akan terlihat semua, gunung Batok, gunung bromo, gunung Semeru...bla...bla... bapak tersebut menjelaskan seraya tangannya menunjuk kesana sini. Antara percaya antara khawatir campur aduk. Ya iyalah suasana gelap gulita sedikitpun tak ada cahaya, sepi tanpa ada satupun manusia. Aku takut dengan beribu perasaan tak menentu berkecamuk dalam hati....!

Akhirnya kami pasrah, aku bayar 50 ribu dan tetap kalimat baik kuucapkan "terima kasih" meski ada rasa yang mengganjal di dadaku. Sebelum beliau beranjak meninggalkan kami si bapak kembali menawarkan tikar untuk sewaan. Semula aku menolak buat apa tikar? Tapi baru saja beliau balik badan angin berhembus kencang, badanku doyong seperti mau roboh. Entahlah apakah karena hembusan angin memang kencang atau memang aku kunang-kunang karena lelah dan tidak tidur. Akhirnya aku menanggapi tawarannya. Kali ini aku bernego harga, tidak seperti tadi ketika beliau menawarkan jasa antar, Dari tawaran 30 ribu akhirnya ditawar menjadi 20 ribu. Ya sudahlah. Kami duduk di tikar yang dibentangkan si bapak di posisi yang katanya terbaik tadi. Tapi belum 5 menit sudah tak sanggup lagi karena hembusan anginnya sangat menusuk tulang. Dingin luar biasa ...! Lebih dingin dari winter di Korea tempohari padahal jaketku seadanya saja, karena prediksiku yahhh cuma puncak gunung saja kok! Gunung es aja aku kuat... (sombong!). Sakitnya kulit dan tulang sampe kupingku perih. Padahal aku berjilbab, sebenarnya aku bawa kupluk tapi tadi males takut ribet membawanya jadi kutinggal di jok jeep. Benar-benar tidak memperkirakan sedingin ini.

Beruntunglah Kotada seorang pendaki gunung sejati, dia punya tips jitu. Dia bilang angkat tiker dan kita gelar di balik pohon saja, supaya meminimalisir hembusan angin. Mencari pohon tak ada! Ada sebuah pohon kecil kalau kata Kotada itu pohon edelweis. Jadilah kami meringkuk dekat pohon itu. Benar juga tidak terlalu deras hembusan anginnya. Kami duduk saja di situ sambil mendengarkan siaran radio lokal dari HP Kotada. Beruntunglah tadi kami sewa tikar. Saat adzan Subuh berkumandang dari HP aku bisa langsung sholat di situ (aku sudah mempersiapkan wudhu sejak berhenti di tempat buang air kecil tadi malam).

Cukup lama kami menanti sekitar 40 menitan malam sudah tak begitu pekat lagi, terlihat ada titik cahaya di ufuk timur. Mungkin matahari sudah beranjak bangun ya...pikirku. Benar saja tiba-tiba gerombolan manusia naik ke tempat kami. Mereka-mereka itu adalah orang-orang yang tadi bergerombol di bawah plang nama Love Hill dan di kedai kopi. Hmmm... sepertinya mereka sudah tahu taktik ya .. tidak seperti kami yang begitu semangat langsung naik dan digerogoti angin beku. Hemmmhemmm....

Setelah itulah aku menatap tak berkedip keajaiban alam ciptaan Allah. Suasana yang tadi gelap gulita lalu sedikit cahaya merah terlihat jelas berbatas hitam. Naik perlahan...terus merah jadi jingga....kuning pekat menyembul ketika bola lampu dunia itu naik sedikit demi sedikit dan menjadi bulat penuh naik ke permukaan langit. Perlahan cayaha kuning pekat...berubah pudar..dan menjadi putih... aku tak henti bertasbih menyaksikan ini. Maa shaa Allah... Allahu Akbar! Setelah langit terang benderang satu persatu pengunjung turun! Bubaran jeep mengangkut penumpang menyebabkan macet parah! Usai sudah perjuangan mengejar matahari terbit pagi ini.

Saat matahari telah meninggi maka tampak semua pemandangan indah
 Jika membaca apa yang direkomendasikan di situs Kompas travel untuk melihat matahari terbit lebih baik dari Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, karena jaraknya paling dekat dengan kawah Gunung Bromo. Dari Pasuruan, setidaknya ada empat lokasi terbaik melihat matahari terbit atau sunrise.

1. Pos Dingklik
Pos pengamatan ini jadi yang pertama dilalui dari jalur Pasuruan. Lokasinya tidak begitu jauh dari gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), hanya sekitar empat menit perjalanan. Lokasinya cukup ramai oleh orang berjualan. Tersedia parkir jeep di sisi-sisi jalannya. Tempat pengamatan bagi wisatawan di sini hanya seperti teras di sisi tebing, tidak begitu luas untuk menampung banyak wisatawan.

2. Bukit Cinta
Lokasi kedua dari jalur Pasuruan ialah Bukit Cinta, bukit dengan ketinggian 2.680 mdpl. Lokasi ini cukup populer karena namanya. Terdapat tembok besar bertuliskan Love Hill Bromo Tengger sebagai penanda sekaligus tempat berfoto. Dari sini wisatawan sudah bisa melihat Kaldera Tengger, yaitu Gunung Bromo, Gunung Kursi, Watangan, dan Gunung Widodaren. Dari sini pula Anda bisa melihat gagahnya puncak tertinggi di Pulau Jawa, Puncak Mahameru. Mengutip dari papan informasi TNBTS, Suku Tengger menyebut lokasi ini dengan Lemah Pasar yang nama aslinya Pasar Agung. Ini adalah tempat digelarnya Upacara Adat.

3. Bukit Kingkong
Bukit Kingkong merupakan titik paling ramai anteran Jeep sebelum sampai ke Puncak Penanjakan. Mengutip dari papan informasi, masyarakat Tengger menyebut bukit ini Kadaluh, dari bahasa Sangsakerta yang artinya pengharapan akan kesuburan wilayah Tengger. Dari bukit ini pemandangan yang sama dari Bukit Cinta pun bisa Anda lihat. Lokasinya berbentuk tanah lapang diatas bukit yang dibatasai pagar-pagar beton. Lokasi ini bisa jadi alternatif jika di Puncak Penanjakan sudah ramai turis. Wisatawan yang jauh-jauh start dari Malang, Probolinggo, biasanya cuman sampai sini, supaya mereka bisa turun duluan nanti ke Bromo siangnya

4. Puncak Pananjakan
Puncak Penanjakan atau Pananjakan merupakan puncak tertinggi untuk melihat matahari terbit ke arah Kaldera Tengger, salah satunya termasuk Gunung Bromo. Dari ketiga tempat lainnya, Pananjakan memiliki fasilitas yang terlengkap, mulai dari mushala, toilet, hingga kios-kios penjaja makanan. Dijual pula perlengkapan anti dingin seperti jaket, syal, kupluk, dan sarung tangan. Lokasinya berupa tribun 10 tingkat yang berbentuk setengah lingkaran, tentunya menghadap timur. Terpaan angin di sini diklaim masyarakat yang paling kencang di antara yang lain, sekaligus yang paling dingin. Anda harus lebih mempersiapkan perlengkapan, terutama jika berdiri di sisi-sisi terluar bukit ini.

Menilik informasi Kompas travel ini berarti kami hanya sampai level 2. Lumayanlah meski ada perasaan belum puas. Masih penasaran...! Hehehe...apakah ini artinya mesti balik ke Bromo lagi nih! Satu kesan menarik yang aku simpan dalam hati adalah tentang sifat dan karakter para wisatawan di tempat ini adalah keren banget. Meskipun di lokasi ini sangat padat pengunjung mereka sopan, pengertian, saling teposeliro kepada sesama pengunjung, memberikan kesempatan dan bergiliran saat ingin mengambil gambar. Keren...banget dah ! Aku acungi 2 jempol buat kalian! Ini Indonesia banget!
 
Suasana masih gelap gulita ketika kami sampai di atas

Mulai terlihat pendar cahaya merah bata

Semakin banyak cahaya merahnya

Ada cahaya putih

Cahaya putih makin banyak

Bola lampu dunia itu mulai bangun

Makin naik ke permukaan
Cahaya putih mulai menyebar
Indahnya ilalang di balik terpaan matahari

Sudah terang
Baru terlihat posisi bukit dan gunung

No comments: