Keluar dari De Djawatan Benculuk kami langsung menuju destinasi berikutnya Taman Nasional Alas Purwo. Informasi destinasi ini aku dapat dari itinerary yang disusun Eddy dan dari browsing di google. Dari informasi yang aku dapat sebenarnya aku agak kurang berkenan mampir disini. Banyak warning-warning yang sangat menyeramkan. Aku takut diantara kami ada salah ucap atau salah tangan, terlebih lagi disaat rencana pertama Iyun mau ikut. Aku tuh khawatir bangettt... karena sifat Iyun kan agak lancang tangannya buat ambil atau petik bunga atau pohon yang terasa asing, indah. Padahal banyak larangan yang harus ditaati yaitu salah satunya tidak boleh memetik atau mengambil apapun yang ada di taman ini. Bicara juga harus dijaga tak boleh asal nyeplos.
Terus keraguan menjadi bertambah-tambah setelah aku sempat mendengar tausiyah dari Syafiq Riza Basalamah tentang harus pandai-pandai memilih destinasi wisata apalagi foto-foto. Beliau mencontohkan berfoto dengan patung. Patung itu melambangkan kesyirikan. Hmmm... bukankah Alas Purwo ini ada lokasi untuk pesugihan. Waduhhhh.... ! Tapi apa boleh buat tak ada destinasi lain, lagipula hanya sambil lewat mampir saja kok.
Kami sama sekali tak paham dengan destinasi wisata ini, tiba-tiba mobil kami berhenti. Eddy dan mas Nanang bilang ayo bu silahkan foto-foto aja dulu. Aku melihat memang viewnya sangat instagramable, jejeran pohon-pohon menjulang mengingatkan aku Nami Island di Korea, juga BBG di Bangka. Dan aku mengira sekalian istirahat sebentar maka kami disuruh foto-foto. Tak pula aku baca papan nama di atas kami. Maka turunlah kami apalagi aku selalu antusias bila lihat lokasi foto yang bagus. Rada susah sih untuk konsentrasi penuh berfoto di spot ini. Disamping terlalu banyak pengunjung yang melakukan kegiatan yang sama, mobil-mobil parkir sementara yang berjejer di sepanjang jalan mengakibatkan indahnya pohon-pohon menjulang ini tertutup dan juga mobil lalu lalang dengan kecepatan yang lumayan cepat. Jadilah kami jeprat jepret sekedarnya saja.
|
Byangkanlah plang nama sebesar ini tak sempat terbaca olehku |
|
Lokasi tak jauh setelah pintu masuk, lihatlah jejeran mobil yang berhenti sementara itu |
Kami masuk lagi ke mobil dan perjalanan dilanjutkan. Pemandangan di kiri kanan jalan yang kami lalui adalah hutan dan pohon-pohon menjulang. Ditengah perjalanan terlihat sebuah pura dan ada beberapa orang berpakaian adat Bali sedang melakukan peribadatan. Tour guide kami menawarkan buat foto-foto di Pura tersebut, kami menolak. Karena kurang suka dan takut mengganggu mereka yang sedang melakukan peribadatan.
Setelah masuk lebih kedalam kami sampai di area parkiran. Parkiran penuh dan terlihat area tersebut penuh sesak dengan pengunjung. Setelah berhenti dan kami turun barulah aku tahu ternyata inilah yang disebut Alas Purwo itu. Matahari sangaattt terang benderang dan menyengat. Kami bertiga turun dan memandang sekitar dengan aneh... mana ya lokasi-lokasi yang dijelaskan di google itu. Kami ngeloyor saja jalan ke depan namun mentok karena lokasi di depan dipasang tanda "Forbidden".
Kami putar balik berusaha mencari tempat berteduh, tapi tak ada. Ada rumah-rumahan joglo tapi sudah penuh dengan manusia. Kulihat Eddy dan mas Nanang menyalami dan berbincang-bincang dengan seorang bapak yang mengenakan pakaian khas Jawa. Beskap lurik dan jarik, rambutnya terjuntai melebihi bahu ditutupi blangkon. Jenggotnya sedada. Aku melihatnya serem. Tiba-tiba Eddy dan mas Nanang memanggil kami mencoba memperkenalkan kami ke si bapak sekalian minta izin untuk masuk ke kawasan spesial sepertinya. Si bapak berpesan jalan hati-hati, jangan takut nanti makhluk halus yang berdiri di kiri-kanan jalan dan gua itu adalah anak buahnya semua tak akan mengganggu asal kami sopan dan terakhir dia bilang jangan lupa bawa bekal minum. Ehh alah... serem amat yak pesennya. Minum??? Malah kami tinggal di mobil karena berat klu dimasukkan tas. Ahhh... sudahlah tak haus ini, pikir kami.
Kami masuk ke dalam hutan melewati jalan setapak. Sebagian besar di kiri kanan kami adalah pohon bambu yang menjulang. Medan tempuh sebenarnya tidaklah terlalu sulit, tidak begitu menanjak dan juga jalan setapaknya relatif baik. Kami terus berjalan dengan semangat di tengah terik menyengat. Banyak juga pengunjung lain yang terihat berjalan ada yang sudah arah kembali ada yang sedang menuju seperti kami. Kami tak tahu bakal ada apa tempat yang kami tuju ini. Nafas sudah ngosngosan, sudah sangat jauh kami berjalan (30 menitan). Aku sempat bertanya pada Eddy "masih jauh gak?". Dia jawab sebentar lagi bu sekitar 400 meter lagi. Ohhh... deket artinya. Kami berjalan lagi.
|
Hutan bambu, auranya seram |
|
Hutan bambu... |
Aku dan Atik sudah ngos-ngosan terlebih lagi mas Nanang yang badannya gemuk perutnya buncit. Lebih menyedihkan ekspresinya dibanding kami. Rasanya aku tak sanggup lagi. Ditengah kelelahan ini kami berpapasan dengan kelompok ABG yang menuju jalan pulang. Iseng aku bertanya
"Masih jauh gak sih sampai kesana, nak?". Secara orang Jawa mereka menjawab sopan sekali. "Tidak bu... deket lagi".
"Oh kira-kira berapa kali jarak yang sudah kami tempuh?", dengan kritis aku bertanya.
" Ini sih baru seperempatnya bu" jawab mereka polos.
"AAAAAAppppaaaaa....???", aku terperanjat.
Yang lainpun kaget. Segini aja aku dan Atik termasuk Eddy dan mas Nanang sudah hampir pingsan. Hanya Kotada yang masih gagah dan baik-baik saja. Dengan tegas aku memutuskan balik aja lagi ah...! Qadarullah dengan segala kekhawatiran aku sebelum kesini, Allah tak mengizinkan kami sampai ke kawasan yang menyeramkan itu. Kami balik lagi dengan terengah-engah juga, karena memang sudah sangat jauh jarak yang sudah kami tempuh. Ketika sampai di pintu masuk yang ada bapak tua tadi dan beliau juga masih beridiri disitu, barulah aku membaca secara teliti plang dan penunjuk arah yang ada dipintu masuk. Aku terbaca angka 7,5 km. Subhanallah...!
Kami segera menuju rumah makan yang ada dilokasi. Yang paling penting harus beli minum. Sempat beli rujak juga bakso. Citarasa makanannya tak rekomended deh! Segera setelah itu kami menuju keluar dan sempat berhenti di tengah hutan jalan keluar buat foto-foto. Lumayanlah buat menghapus rasa kecewa.
|
Rindangnya pepohonan |
|
Yaaa mereka bercanda di tengah jalan |
|
Bercanda ditengah jalan.. |
|
Terlalu indah... |
Taman Nasional Alas Purwo yang terletak di Semenanjung Blambangan, Kabupaten Banyuwangi,. Alas Purwo merupakan kawasan taman nasional yang berada di dalam wilayah administratif 2 kecamatan, Tegaldlimo dan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Taman Nasional Alas Purwo memiliki luas 43.420 hektar dengan ketinggian 322 meter di atas permukaan laut. Konon, Taman Nasional Alas Purwo merupakan hutan dengan usia tertua di Pulau Jawa. Hutan tropis ini menjadi rumah bagi ratusan satwa dan flora.
Nama Alas Purwo diambil dari kata Purwo, yang dalam bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan. Sehingga Alas Purwo memiliki arti hutan pertama atau hutan tertua Pulau Jawa. Bagi masyarakat Banyuwangi tempat ini dikenal sangat angker dan termasuk tempat yang keramat, sehingga saat ini kondisi alamnya masih cukup terjaga.
Disamping terkenal dengan keindahan alamnya hutan ini juga memiliki sejuta kisah mistis. Kisah mistis ini bahkan diyakini masyarakat Alas Purwo satu di antara sejumlah tempat yang terangker di Pulau Jawa bahkan nusantara, selain kawasan Gunung Merapi, Gunung Lawu, Alas Roban yang terdapat di Jawa Tengah, serta Gunung Arjuno yang terletak di Jawa Timur.
Sebagai hutan hujan alami di Pulau Jawa, Alas Purwo menjadi rumah bagi 580 jenis flora dan 50 jenis fauna yang tersebar di seluruh penjuru hutan. Taman Nasional Alas Purwo terbagi menjadi empat zona, yaitu Zona Inti, Zona Rimba, Zona Pemanfaatan, dan Zona Penyangga. Meski dikenal penuh misteri, tempat wisata ini banyak menyimpan keanekaragaman hayati dengan objek penelitian dan wisata dengan pemandangan indah.
Pura Luhur Giri Salaka
Selain flora dan fauna, di Taman Nasional Alas Purwo juga terdapat bagunan peninggalan dari kerajaan Majapahit yang bernama Situs Kawitan. Setiap tahun situs ini digunakan untuk kegiatan keagamaan sejak tahun 1968.
Situs Kawitan ini terkenal sangat keramat dan dipercaya bukan sembarang situs. Karena banyaknya ritual yang sering dilakukan di Situs Kawitan, maka dibangunlah Pura Giri Salaka. Pura ini digunakan umat Hindu untuk melakukan acara keagamaan. Salah satunya upacara pager Wesi yang diadakan setiap 210 hari sekali. Lokasinya berada di jalan masuk menuju pantai Trianggulasi.
Pantai Triangulasi sendiri hanya berjarak 3 km dari Pura Giri Seloka. Pantai ini terbilang masih alami dengan pantai berpasir putih dan hutan pantai yang didominasi oleh pohon bogem dan nyamplung. Sunset di pantai ini sangat cantik. Tapi jangan berenang di pantai ini ya, perairan laut selatan di kawasan ini sangat berbahaya.
Pantai Konservasi Penyu
Meski pamornya angker, Alas Purwo memiliki pantai-pantai tercantik di pesisir selatan Pulau Jawa. Seperti Pantai Cungur yang menjadi habitat puluhan jenis burung. Tak hanya burung lokal, pada waktu tertentu terdapat burung-burung yang bermigrasi dari Australia. Tercatat terdapat 39 jenis burung yang hidup di Pantai Cungur.
Tak jauh dari Pantai Cungur, terdapat Ngagelan yang berpasir hitam. Pantai yang sangat bersih ini menjadi surganya penyu di Banyuwangi karena digunakan sebagai tempat untuk konservasi penyu. Pengunjung dapat melihat berbagai jenis penyu di pantai ini. Kalau beruntung dan jadwalnya pas, bisa menyaksikan penyu-penyu bertelur dan proses pelepasan anak penyu di Pantai Ngagelan.
Alas Purwo juga memiliki pantai berpasir putih yang cantik, Pantai Pancur. Air sangat jernih dengan kontur pantai yang landai. Di sekitar pantai tersedia area Camping Ground. Pantai Pancur memiliki muara air tawar, yang diyakini oleh masyarakat setempat berkhasiat untuk membuat awet muda. Pantai ini tergolong aman untuk wisata air, lokasinya di dekat Pos pancur, pemberhentian terakhir dari Taman Nasional Alas Purwo menuju Pantai Plengkung atau G Land.
Gua Tersembunyi
Alas Purwo juga memiliki gua-gua tersembunyi yang masih alami. Ada tiga gua di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, yaitu Gua Istana, Gua Mayangkoro dan Gua Padepokan. Salah satu gua yang paling dikunjungi wisatawan adalah Gua Istana, karena lokasinya dekat dengan Pos Pancur. Sedangkan Gua Mayangkoro dan Gua Padepokan merupakan gua yang dianggap keramat. Pengunjungnya adalah orang-orang
yang ingin bersemedi atau menyepi.