Day 7th, Rabu 24 November 2016
FRANKFURT – LUZERN SWITZERLAND
Hari ini kami bangun harus pagi karena sesuai rencana hari ini kami akan meninggalkan Frankfurt menuju Luzern Swiss jam 8 pagi. Seperti biasa strategi kami selesai sholat langsung ke lobby membawa semua koper untuk diletakkan dulu di lobby, sarapan dan selanjutnya naik lagi ke kamar untuk bongkar muatan atau rapi-rapi make up atau apalah apalah.
Sampe di lobby memang koper sudah lumayan banyak bertebaran disitu bahkan resto hotel yang bersebelahan dengan lobbypun sudah padat. Hotel yang kami tempati memang sangat kecil, seperti losmen begitu. Cuma 3 lantai. Sesampai di lobby ketika kami mau narok tas, sang resepsionis ngomel-ngomel kayak ibu-ibu komplek lagi beli sayur di pagi hari (hahaa...). Dia ngomel melihat lobby penuh dengan koper-koper (siapa suruh punya lobby kecil sekali! Luas lobby paling hanya sebesar ruang tamu rumahku 3x4 meter).
Baru saja kami mau meninggalkan tas dan menuju resto dia teriak memanggil kami. Marah-marah karena narok koper di sana, dia bilang bagaimana tamu saya yang lain mau lewat atau duduk manjah di lobby. Kayaknya kalau lalu lalang masih bisa deh, peserta tour kami terutama yang berasal dari bis 1 itu kaum eksekutif (mantan pejabat di perusahaan besar dan BUMN) jadi mereka pakai otak juga dan tidak sembarangan narok koper. Ada yang diumpetin dibelakang pintu, belakang kursi dsb jadi untuk lalu lalang mereka masih memikirkan spacenya. Artinya tamu hotel lain masih bisa lewat alias jalan. Cuma memang lobbynya aja yang sangaatttt kecil.
Kami cuek dan pura-pura tidak paham apa yang dia teriakan (padahal doi pake bahasa Inggris dan kami paham), kami ngeloyor aja menuju resto. Hmmm...penuh! Kami hanya mengambil roti, jus dan buah kiwi karena varian makanannya tidak begitu banyak. Kotada mengambil omelet telur. Kiwinya ternyata sudah busuk jadi yah..... dibuang saja. Kami makan cukup terburu-buru, sadar diri melihat peserta lain ada yang berdiri-diri menunggu meja kosong. Kami segera keluar naik ke kamar sebentar untuk mengambil tas tangan dan menuju pelataran hotel. Langit terlihat masih seperti subuh meskipun saat itu sudah jam 8 pagi. Di pelataran kami duduk-duduk di kursi-kursi yang ada disitu plus foto-foto ....padahal dinginnn. Mau duduk di lobby pasti bete melihat resepsionisnya yang masih ngomel-ngomel aja.
|
Jam 8 pagi masih seperti subuh |
|
Tuh pelataran Hotel Meininger Frankfurt, dibelakangku terlihat pak Bambang menggeret kopernya keluar, pasti karena diomelin oleh resepsionis bawel itu |
|
Kalau pakai camera selfie tidak terlihat gelapnya |
Jam 9 lewat kami baru meninggalkan hotel teesebut, delay dari schedule (wkwkwkw... habitual action). Setelah duduk di bis aku baru tahu bahwa Kotada tidak dapat jatah makan semalam. Ceritanya semalam sampai kami sudah pada bubar menuju kamar masing-masing setelah dapat pembagian kunci, jatah makan malam belum juga muncul. Akhirnya panitia yang terdiri dari si Euis, Ade dan Irwan bilang silahkan ke kamar saja. Mereka janji makan malam akan diantar ke kamar masing-masing Kalau punya aku dan Atik dianter oleh mbak Iin (kata Atik sekitar jam setengah dua belas malam). Jatah makan malam itu aku makan tadi pagi sebelum aku mandi. Makanannya sudah berbau basi dan aku segera membuangnya. Setelah tahu Kotada tak dapat jatah makan malam aku langsung protes dengan Euis dan pak Ade. Setengah terpaksa dia menyerahkan kotak jatah makan malam ke Kotada. Kotada langsung menyantapnya karena memang sarapan tadi tidak ada apa-apa di resto hotel.
Hari sudah menjelang jam 3 tapi tidak ada tanda-tanda bis kami akan berhenti untuk sholat atau makan siang sama sekali. Euis akhirnya mengumumkan kita akan telat makan siang karena uni Rita dan Alex sedang menhadapi masalah dengan pihak imigrasi Swiss. Mobil mereka yang mengangkut makanan tertahan oleh pihak imigrasi, karena dalam menu makanan kami ada daging. Peraturan pemerintah Swiss tidak boleh memasukan makanan sejenis daging ke area negara mereka meskipun daging tersebut sudah dalam bentuk produk olahannya.
Kami melihat seluruh peserta bis mulai mengeluarkan persediaan bekal masing-masing. Sedihnya bekal makanan kecil sudah habis sejak hari kemaren. Kami hanya diam saja (aku meminum milshake dari WRP diet untuk mengganjal lapar). Pastilah sangat lapar karena sejak semalam aku tidak makan, sarapan tadipun hampir bisa dikatakan tidak makan juga. Peserta sibuk makan bahkan Euis itu membagi-bagikan jatah nasi malam tadi (jatah orang yang mungkin tidak terbagi seperti Kotada) ke rombongan Palu dan rombongan Marwa yang merupakan anak emas dia. Semua sibuk makan. Aku menoleh kulihat Kotada tertidur nyenyak di kursinya. Atikpun demikian. Kulihat pak Masykur juga tidak menyantap apapun meskipun kak Lili teman dari asal daerahnya Kalbar menawari , kulihat dia menolak. Mbak Iin yang biasanya rajin menawari makan juga tidak menawari kami, mungkin persediaan dia sudah menipis juga bahkan aku lihat Iin makan nasi sisa semalam yang dibagikan Euis, Aku tersenyum beginilah sifat manusia disaat kekurangan dan kelaparan .... egois dan tanpa tenggang rasa.
Cuaca mendung gelap dan berkabut. Suhu udara sangat dingin sekali, meskipun di dalam bis ada heater. Ada kemacetan panjang di suatu lokasi yang aku tak paham dimana itu. Truk-truk box pengangkut barang berjejer padat, kulihat polisi lalu lintas sibuk mengatur kemacetan tersebut. Mengalihkan arus, mengatur posisi truk pengangkut barang, bis dalam posisi masing-masing. Polisi yang bergerak cepat dan tangkas segera dapat mengurai kemacetan yang ada. Bis kami meluncur lagi. Sejauh ini aku tidak melihat mobil pribadi yang melintas di sepanjang perjalanan kami. Entahlah... apakah karena memang jalur yang kami lewati hanya untuk kendaraan besar ataukah karena penduduk Swiss enggan menggunakan kendaraan pribadi sebab sebenarnya jalur yang kami tempuh bisa dilewati dengan menggunakan kereta listrik cepat yang jauh lebih nyaman dan hemat waktu.
Hampir jam 4 sore ketika kami sampai di Rheinfall (optional tour yang ditawarkan Euis cs dengan tambahan biaya 35 euro per orang). Rheinfall atau biasa disebut Rhine Fall adalah air terjun yang terdapat di sungai Rhein. Dengan lebar 150 meter, tinggi 23 meter dan kedalaman 13 meter. Air terjun ini adalah air terjun terbesar di Eropah yang usianya diperkirakan 15.000 tahun.
Peserta lainpun kelihatan tidak bergairah menikmati tempat ini (apakah lemes karena kelaparan??? Ya iyalah sudah jam 4 sore belum makan siang), mereka hanya duduk-duduk di bangku-bangku yang ada. Tidak lagi sibuk dan kalap untuk foto-foto. Kami kembali ke bis dan meneruskan perjalanan. Kalau di itinerary tujuannya adalah menuju masjid Ebicon. Bis muter-muter seperti tanpa arah suasana kiri kanan jalan bahkan perkampungan sangat sepi. Seperti kota mati. Aku melihat sebuah toko yang menjual buah-buahan dengan apel yang merah segar, ingin rasanya turun dan membeli untuk mengisi perut yang sudah lapar.
Jalannya bis seperti tidak bertujuan dan akhirnya kami mampir di suatu gedung yang tidak besar, buktinya kami yang berjumlah 75 orang hampir tidak dapat duduk nyaman di dalamnya. Entah gedung apa ini namanya. Kami duduk berjejer berhadap-hadapan dengan kaki ditekuk dan dilipat. Tidak boleh banyak bergerak jika tidak dengkul akan saling beradu (hiks...). Uni Rita membagikan makan siang sambil berteriak-teriak satu orang satu ya dengan wajahnya yang jutek. Apakah ada yang sanggup menghabiskan jatah makan 2 kotak? Wong makan sekotak itu saja dimakan hanya untuk memenuhi kepentingan lambung, kalau kepentingan lidah (cita rasa) pastilah tidak akan termakan makanannya yang tanpa cita rasa dengan minyak menggenang bahkan selalu hampir basi saat sampai ke tangan kami.
Sebagian besar peserta sibuk bergegas bahkan Kotada aku suruh segera sholat saja (Dzuhur plus Asar) karena takut keburu Maghrib. Memang saat itu sudah jam setengah enam lebih (= jam 5.40). Waktu Maghrib di Eropah adalah jam 5.30 atau paling lambat 5.45 tergantung lokasi. Kalau laki-laki bisa mengambil wudhu di luar meskipun harus tetap antri. Sedangkan peserta wanita harus antri panjang karena kamar mandinya hanya 1. Astaghfirullah... Kebetulan aku sedang siklus bulanan. Jadi tidak ikut antri dan menyantap saja makanan hampir basi yang baru saja dibagikan. Dan tak berapa lama mungkin sekitar 3 – 5 menit adzan Maghrib berkumandang di HP ku. Ya... Allah ampuni kami.... astaghfirullah, hanya untuk bersenang-senang kami melalaikan kewajiban terhadapMU.
Saat aku selesai makan dan ikut antri untuk ke toilet aku mendengar seluruh ocehan ketidakpuasan seluruh peserta terhadap pelayanan travel guide dari IHT. Mulai dari awal sebenarnya mereka sudah kecewa dengan jumlah peserta yang terlalu banyak, menu makanan yang disajikan, schedule perjalanan yang hampir 2 per 3 nya adalah shopping, pemberian makan yang selalu molor sangat molor bahkan selalu makan di atas bis. Mengenai molor ini malah sudah berakibat pada salah seorang rombongan Marwa di bis 2, muntah-muntah karena maag nya kumat, untunglah aku punya persediaan obat maag.
Aku menyimak ocehan mereka sambil berpikir artinya aku tidak salah menyimpulkan. Apa yang aku rasakan juga dirasakan oleh seluruh peserta. Yang bikin mual dan muak adalah Euis sang tour guide itu tidak merasa bersalah sama sekali. Celetukannya, nyinyirnya seakan pelayanan yang dia berikan adalah prima. Contoh soal keluhan peserta adalah gara-gara mampir ke Rhine Fall yang bukanlah lokasi yang awesome banget sehingga kami harus bayar biaya tambahan 35 euro bahkan karena mampir kesana kami jadi telat sholat Dzuhur dan Ashar.
Inget komentar Mbak Yuli peserta Jakarta yang suaminya pejabat Pertamina dan pernah menetap di Palembang selama 6 tahun, “Katanya Indonesian Halal Tour , apa yang disebut halal jika kita telah melalaikan sholat wajib??? Apanya yang halal jika kita seaakan dikompori untuk memuaskan nafsu belanja (berlebih-lebihan adalah sifatnya syetan)", aku tersenyum mengangguk. Sampai seperti itu loh pemikiran seorang muslim sejati. Tetapi Euis dan pak Ade yang mengaku dirinya seorang ustadz tidak berpikiran seperti itu. Yang ada di otak mereka adalah uang...uang...uang... Kalau belanja kan jelas mereka akan dapat fee dari toko yang kami singgahi. Aku menyaksikannya sendiri ketika kami mampir di toko souvenir di Jerman, pak Irwan dan pak Ade sedang menagih komisi buat mereka dari pemilik toko. Parah!
Bubar sholat dan makan siang sekalian makan malam, kami melanjutkan perjalanan ke pegunungan Alpen. Di tengah perjalanan menuju pegunungan Alpen rombongan masih sempat mampir lagi ke pusat pertokoan yang banyak menjual jam tangan dan souvenir khas Swiss. Kami bertiga masuk pertokoan dengan sangat malas, sudah malam kenapa masih harus mampir berbelanja lagi, mending langsung ke hotel saja supaya bisa istirahat. Lagipula waktunya toh sempit sekali. sampai di area pertokoan jam 7 sedangkan toko-toko tutup jam 9. Tapi apa boleh buat kmi ikut ajalah.
Kami menyelusuri pertokoan dan iseng masuk ke sebuah toko khusus wanita yang produknya sale besar-besaran. 50 - 70%. Aku dapat suatu cape rajut warna cream seharga 10 CHF. kalau di kurs sekitar 135 ribu. Murah....pake banget, lumayan buat nambah lapisan hangat untuk ke Titlis besok. Lalu setelah mencari-cari aku suka sebotol parfum seharga 9 CHF tetapi belum sempat transaksi kami sudah dijemput dan dipaksa Euis masuk toko yang sudah jadi rekanann dia. Maksa banget... ya iyalah jika makin banyak yang beli komisi mereka akan makin besar.
Kami ikut saja masuk toko yang ditunjuk Euis, tetapi sampai lantai 2 tidak ada 1 produkpun yang ksmi sukai, produk jam yang harganya terjangkau adalah produk China. Ngapain dibeli... Akhirnya kami bertiga balik lagi ke toko pertama tempat aku melihat-lihat parfum tadi, aku membeli parfum yang aku sukai itu dan segera keluar. Kembali kami menjadi penunggu setia di trotoar, Ada beberapa orang yang sudah stand by di trotoar ujung jalan. Padahal udaranya dingin sekali. Banyak peristiwa terjadi di tempat ini, uni Yulimar kehilangan tas saat berbelanja di suatu toko, bersyukurnya tas tersebut rupanya tertinggal di toko tersebut. Saat dia meninggalkan toko kelupaan tasnya sendiri. Paniknya toko tersebut sudah tutup. Nah loh... Akhirnya toko tersebut di gedor-gedor oleh mbak Indah,. Alhamdulillah penjaga belum meninggalkan toko, akhirnya tas uni dapat ditemukan.
Dan lebih menghebohkan lagi adalah Iin pemilik travel kami kecopetan, Dompet dan seluruh isinya berisi banyak uang dolar dan semua kartu lenyap. Ditengarai dompet itu dicopet saat beberbelanja di toko souvenir temannya bu Euis tadi. Lemes...liat Iin. Terkadang ini bisa jadi sebuah teguran dari Allah. Rombongan tour ini sudah terlalu berlebih-lebih dalam berbelanja. Bayangkan sudah malam dan pertokoan hampir tutup masih saja sempat-sempatnya shoping lagi dan merekapun memborong. Hmmmm
Hampir jam sepuluh malam bis kami stop di pelataran parkir Terrace Hotel yang terletak di kaki pegunungan Alpen. Untuk menuju ke hotel dari pelataran parkir kami harus jalan kaki dengan jalan yang agak menanjak. Waduh derita gue banget, secara koper kami gede. Inipun terasa ribet padahal kami sama sekali tidak pernah belanja. Gimana peserta yang lain ya? Yang maniak dalam belanja? Biasanya kami (aku, Atik dan Kotada tidak selalu menurunkan semua koper dari bagasi bis) tapi kami sudah 2 malam tidak bongkar muatan koper kabin yang kecil ini. Mau tidak mau harus diturunkan. Ayooo semangat ...pelan-pelan saja jalannya.
Untuk mencapai Terrace Hotel setelah berjalan penuh usaha dengan koper gedeku kami harus naik lift. Liftnya sangat sederhana mirip lift untuk naik prilling tower di Pusri. Cukup besar sehingga sekali angkut bisa muat 10 orang meski kopernya gede gede. Cuma ada 1 lift jadi harus antri. Suasana lorong tempat menuju lift itu serem sekali. Lorong seperti terowongan dengan suasana remang-remang dan auranya gak enak. Belum lagi bunyi lift berderit derit saat naik ke atas. Hiihiihii.... seperti cerita film horor saja. Aku tak henti membaca ayat Kursi, srt 3 Qul, istighfar dan sebagainya karena memang seram sekali. (Keesokan harinya dalam perjalanan menuju Mount Titlis di atas bis banyak peserta yang bercerita kalau tadi malam banyak temuan penampakan aneh-aneh. Konon katanya hotel ini memang sepi dan sering kosong karena sangat jarang wisatawan yang datang menginap disini. Wajarlah...serem!). Setibanya di lobby hotelpun masih dalam suasana seram karena lampunya memang remang-remang. Menunggu sejenak pembagian kamar.
Setelah dapat kunci kamar kami bergegas naik ke kamar. Hotel ini hanya terdiri dari 2 lantai. Kebetulan saat antri aku bareng dengan pak Irwan pimpinan IHT. Aku ngobrol dan protes tentang ketidak becusan penyelenggaraan tour ini termasuk tentang banyak peserta yang tidak kebagian makan malam saat di Frankfurt, Dia diam saja dengan wajah hambar. Tapi aku bersyukur dengan keberanianku mengeluarkan pendapat ini aku menjadi target prioritas pelayanan. Seperti malam ini makan malam diantar kekamar malah sampe 2 kali. Kami kaget ketika pintu kamar diketuk ada yang nganter makan malam lagi padahal baru saja pak Ade nganter. Kami tolak dengan bilang bahwa kami sudah dapat jatah.
Cerita seram lain aku alami ketika kami melewati lorong menuju ke kamar, lorongnya gelap sekali. Lampu yang dipasang memakai sensor otomatis sehingga jika ada orang lewat lampu baru menyala dan begitu kami berlalu mati secara otomatis. Aku merasakan bulu kudukku meremang. Malamisetelah beberes koper aku mandi dan tidur. Tengah malam aku masih mendengar langkah kaki yang diseret-seret di lorong kamar. Entah manusia atau makhluk halus wallahu alam. Selamat malam ... sampai besok karena besok kami akan merasakan sensasi salju di Mount Titlis.
.
No comments:
Post a Comment