Minggu, 9 April 2017
Yahhhhh....sudah hari terakhir nih cuti week end kali ini. Terasa cepat sekali, karena aku memang suka dengan Bandung. Cuacanya, alamnya, habitnya. Semua cocok. Malah sejak hari pertama explore alam Jawa Barat, arah Lembang terlebih lagi arah Ciwidey that I prefer to live, aku berkhayal kelak akan punya rumah di pedesaan Ciwidey menghabiskan masa tuaku. Eh mungkin gak ya? Apa yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Mimpi aja dulu kaleee....
Ini hari terakhir dan tidak ada schedule khusus yang ada adalah menghabiskan waktu menunggu kepulangan dengan pesawat jam 17.30 nanti. Kami sepakat schedule hari ini dimanfaatkan untuk city tour saja, mengunjungi tempat-tempat indah seperti yang sering aku lihat di medsos. Dannnn...karena hari ini rencana mau ikutan “Car Free Day” (atas usulan Sapta dan juga kang Dede), maka rencananya kami akan berangkat sangaaaat lebih pagi dari rencana-rencana kemaren. Jam 6 harus sudah start atau setengah 7 paling lambat, mengingat CFD itu memang mulainya pagi dan akan bubar jam 9. So...sudah dengan tegas kemaren kami menegaskan kang Dede gak boleh telat lagi, kalau memang gak bisa lebih baik kami naik opelet atau malah go car saja. Dengan kesepakatan yang amat tegas si kang Dede menyatakan “deal” dijemput pagi jam 6.30.
Baiklah mengingat kesepakatan yang sudah dicanangkan, jam 6 kami sudah ke lobby dan bawa koper lengkap untuk sekalian check out. Okay...gak begitu lama proses check out selesai. Namun kenyataannya sudah jam 7 kang Dede belum juga muncul. Aku ingin sholat Dhuha dulu sajalah (hari ini siklus bulanan sudah kelar jadi sudah bisa sholat), ternyata mau balik ke kamar lagi sudah tak bisa karena kamar sudah dibereskan, beruntung ada mushollah di lantai 3. Lalu...sesudah dhuhapun masih belum juga dijemput. Waktu sudah menunjukkan jam setengah 8. Tadinya memang sengaja tidak mau sarapan dulu karena menurut Sapta di CFD banyak jajanan khas Bandung yang enak, aku ngidam dan pengen banget ngerasain Cuangki. Namun karena sudah 7.30 aku dan Kotada sudah kelaparan akhirnya ngetem lagi di warung depan hotel dan sarapan kupat tahu.
Habis sarapanpun ternyata kang Dede belum jemput juga padahal sudah jam 8 kurang 5 menit. Astaghfirullah.... keterlaluan banget yah kang Dede ini, selama 3 hari selalu molor dan gak tepat janji. Ya Allah...secara seorang muslim janji itu hutang, gimanalah rezeki akan berkah kalau selalu menyakiti perasaan orang lain (iyalah sakit itu identik dengan jengkel). Aku hanya diam beristighfar sedang Sapta sudag ngomel terus tuh. Mana ditelpon gak bisa lagi, bukankah HPnya kemaren ketinggalan di mobil temannya sesama driver saat di Kawah Putih. Haduhhhh...
Akhirnya jam 8.15 dia muncul juga, kali ini dia mengajak anaknya cewek. Kalau kata Sapta dan Kotada sih anak itu buat bemper saja agar kami gak berani marah. Yah sudah cusss kita berangkat di jam 8.15. Untungnya jarak tempuh gak begitu jauh. Kami cuma di drop saja. Yah bener saja suasana sudah hampir sepi sih, sebagian orang sudah jalan ke arah pulang. Yang membuat Sapta jengkel adalah kita itu justru di drop di area jalan pulang bukan start. Hmmmm... terlalu.
Yah meski datangnya rada telat, aku masih bisa menyaksikan sisa-sisa keramaian orang Bandung yang tumpah ruah di jalanan seputaran Dago. Berbagai macam kegiatan seperti senam aerobik, pertunjukan musik, pertunjukan teaterikal dan sebagainya berkenaan dengan kreatifitas seni mahasiswa berbagai akademik dan lembaga ilmu. Jajanan juga banyak, cuangki juga ada tapi sayangnya aku sudah tak minat makan lagi karena sudah kenyang sarapan kupat tahu yang porsinya cukup besar tadi. Sayang banget.... padahal pengennnnn.
|
Pekerja seni mahasiswa suatu perguruan tinggi yang mentas di jalanan |
|
Pemandangan di Dago, di instagram bilangnya foto ini keren |
Matahari Bandung hari ini sangat terik meski masih lumayan pagi, kami masih menyusuri jalan sekitaran area CFD sudah menuju ke arah tempat kang Dede menjemput nantinya. Sapta sempat membeli topi koboy, training pack yang memang murah sih menurutku dengan kualitas barang seperti itu. Aku juga iseng membeli bros kecil hanya karena agar ibu-ibu itu dagangannya laku saja, kalau minat beli sih tidak karena koleksi brosku masih sangat banyak. Beli 3 seharga 40 ribu.
Okelah sesuai keinginan aku ingin foto di depan gedung sate. Sebelum sampe kami sempat diajak Sapta mampir di area seperti pasar pagi, dimana area tersebut penuh dengan pedagang dan pembeli sehingga jalan saja tak bisa. Rupanya tujuan Sapta ke area itu karena dia ingin makan di suatu tempat yang menjual makanan besar (nasi maksudku) dengan segala rupa menu. Di situ metodenya pengunjung mengambil sendiri menu yang dipilih di meja yang panjang sekali (Ada sekitar 50 jenis menu barangkali saking banyaknya, untuk pastinya aku gak sempat ngitungin), lalu langsung duduk lesehan sambil menyantap menu pilihannya. Setelah itu sembari makan kasir akan berkeliling menanyakan apa saja yang diambil dan memberikan nota. Selesai makan baru bayar. Sapta mengajak makan, tapi aku dan Kotada menolak karena memang masih sangat kenyang. Kupat tahu...penyebabnya hehee. Akhirnya Sapta makan sendirian, kulihat dia mengambil jengkol balado hmmmm...pasti maknyus. Tapi menurutku harga makan di sini cukup mahal.Menu yang Sapta ambil hanya ayam goreng 1 potong, 5 keping jengkol balado dan secentong tumis kangkung, minumnya mineral water gelas total yang harus dibayar 56 ribu rupiah.
|
Menu sajian yang sempat terfoto meski gak mencicipinya |
Usai Sapta kami berusaha keluar area tersebut. Sulit sekali untuk keluar karena sesak dan padatnya itu, mana sirkulasi udara kurang baik disebabkan oleh tenda-tenda pedagang. Aku sudah berkunang-kunang dan sangat lelah sekali. Matahari yang sangat terik dan jalan yang memang sudah cukup jauh membuat aku sangat lelah, berkali-kali aku tanya sama Sapta masih jauh gak tempat jemputan kang Dede, bahkan aku sudah kehilangan selera untuk ke gedung sate. Sapta berusaha menyabarkan dengan kalimat “sebentar lagi bik Esi, Tak jauh lagi” tapi tidak sampai-sampai. Hahaa kayak ibu ngebohongi anaknya yang sudah lelah diajak jalan jauh saja. Aku bilang tak usahlah ke gedung sate, aku sudah capek. Tapi Sapta bilang sayang kepalang ke sini, manalagi tempatnya tak jauh kok sekalian dilewati menuju tempat parkir kang Dede.
|
Track untuk sprint di lapangan depan gedung sate |
|
Gedung Sate dikejauhan dan inilah Alun-alun itu |
|
Sprint line |
|
Langit cerah di atas kota Bandung |
Ya sudahlah... jalani saja. Setibanya di depan gedung sate , aku makin berkunang-kunang nih. Matahri terik dan menyengat di tengah lapangan luas dengan track untuk sprint dan kerumunan manusia aku semakin lesu. Tanpa ada pohon rindang buat berteduh. Hmmmm gak betah banget, ambil fotopun tidak semangat.Yah...ingin cepat ke mobil saja. Baiklah...kita cari kang Dede. Rada sulit nih menemukan posisi kang Dede. Bolak balik muter padahal sudah capek. Sepanjang jalan mencari kang Dede aku dan kota membeli rujak buah. Lumayan harganya 10 ribu rupiah, jadilah untukmenyegarkan mata yang kiyep-kiyep kepanasan.Dan bertemu juga si akang Dede di depan Grapari Telkomsel.
|
Tidak minum, maka rujakpun dijadikan penghapus dahaga, sebungkus berdua |
Hmmmm... lega masuk ke mobil dan kena AC, karena sudah capek sudah tak minat lagi menyelusuri jalanan cantik seperti yang aku lihat di medsos. Lalu tiba-tiba saja gagasan itu datang, aku pengen ke pasar baru. Tujuannya cuma pengen beli jilbab besar dan panjang karena Februari nanti aku berniat umroh. Akhirnya cussss kami bener-bener ke pasar baru. Senengnya kalau pergi sama Sapta dan Kotada tuh seperti ini nih, mereka tidak sungkan untuk diajak ke tempat-tempat kesukaan wanita.
|
Akhirnya mampir juga di Pasar Baru |
Sampai di pasar baru pengunjung cukup padat. Aku berusaha nyeger-nyegerin badan, karena kebiasaan aku tuh gak bisa di tempat padat dan ramai, bawaannya pusing dan kunang-kunang pasti. Okelah sepakat kami mau cari bahan brokat dulu saja, Sapta mau cari brokat putih untuk baju acara preweddingnya. Dan tanpa sulit di lantai 3 sudah dapat, aku juga membeli brokat ungu muda untuk nyocokin gamis purple mudaku buat acara kawinan Sapta. Selain itu Sapta juga memborong kaos buat oleh-oleh teman dan sepupunya Idham. Murah lagi , kaos katun seharga 30 – 40 ribu sudah bagus.
Lalu gantian sekarang aku yang cari sasaran aku. Masih di lantai 3 Blok A1, secara kebetulan aku menemukan toko “Naira Alzena” yang jual khimar terkini seperti, Lyra Virna, Deanara, truss apalagi tuh. Harga murah (bayangin khimar sekelas Albarikz yang suka aku beli seharga 260 ribu itu di sini harganya hanya 125 - 175 ribuan) dan setelah dicoba di muka passss banget (secara biasanya sulit cari jilbab yang bisa masuk ke mukaku, mukaku tuh bulat dan lebar). Heheeeee.... malu buat diceritain, memang sih kali ini aku berhasil menahan godaan belanja, aku cuma membeli khimar saja kok dan tak beli yang lain-lain yang tak penting. Tapiiiiiii......jumlahnya banyakkkkkk. Hahaaa...sehingga total buat beli khimar saja jumlah belanjaku 1,2 juta. Gak apalah...sekali-sekali mumpumpung dapat yang pas di hati. Hiks.... budget jebooolll.
|
Yang kalap dengan khimar bagus dan murah |
Tak lama belanja di pasar baru ini kami segera keluar, mencari parkir kang Dede. Setelah bertemu aku langsung bilang tujuan selanjutnya adalah sholat dulu, karena adzan di smartphoneku sudah bunyi. Kang Dede mengajak sholat di Masjid Raya Bandung saja, tak begitu jauh dari parkiran itu. Trus bla...bla dia bercerita tentang kelebihan masjid Raya tersebut. Baiklah kalau begitu.
Dahulunya masjid Raya Bandung dikenal dengan nama Masjid Agung Bandung yang merupakan sebuah masjid besar yang berada di Kota Bandung, Jawa Barat, Pulau Jawa, Indonesia. Masjid ini juga merupakan sebuah masjid utama di provinsi Jawa Barat. Masjid ini pertama kali didirikan pada tahun 1810, dan semenjak didirikannya, Masjid Agung Bandung ini telah mengalami delapan kali perubahan pada abad ke-19, dan kemudian lima kali perubahan pada abad 20 sampai pada akhirnya direnovasi kembali pada tahun 2001 sampai diresmikan menjadi Masjid Raya Bandung pada 4 Juni 2003 yang diresmikan oleh Gubernur Jawa barat yang ketika itu adalah, H.R. Nuriana. Masjid baru ini, memiliki corak Arab, dan menggantikan Masjid Agung lama, yang memiliki corak khas Sunda.
Menyusuri pertokoan yang jalannya luas sangat nyaman dan bersahaja. Deretan kursi taman yang cantik dan juga pernak-pernik antik di sepanjang jalan tersebut. Pertunjukan seni kecil-kecilan terkadang dipentaskan di jalan tersebut. Kulihat banyak warga/pengunjung yang duduk-duduk santai di kursi-kursi cantik sambil bercanda dengan anak, kekasih, adapula yang sambil menyantap makanan.
|
Etalase jalanan menuju Masjid Raya Bandung, Nyaman...! |
Tiba di muka masjid aku dibuat terpana, karena diluar prediksiku, halaman maupun bagian dalam masjidnya sendiri luar biasa ramai oleh pengunjung yang sengaja ke lokasi itu untuk berdarma wisata. Kalau dari logat bicaranya sebagian pengunjung masih berasal dari daerah sekitaran Jawa Barat juga, aku sempat berbincang dengan beberapa pengunjung. Mereka ada yang berasal dari Garut, Sukabumi, tetapi tetap ada juga pengunjung luar daerah seperti Aceh, Jakarta termasuk dari Palembang yaitu saya heheee...
Untuk melaksanakan sholat tahapan awal yang kami lakukan adalah menitipkan sandal/sepatu pada tempat penitipan yang terdapat pada pintu masuk. Kalau ingin di kantongi banyak sekali anak-anak kecil yang menjajakan kantong plastik buat sandal, bayarnya sukarela saja kata sang penjual. Setelah itu aku masuk ke dalam masjid bersama Bunga (anaknya kang Dede). Kami berpisah dari rombongan para pejantan karena area masuk tempat wudhu dan toilet wanita dan pria berbeda dan berjauhan. Masuk ke tempat wudhu yang sangat luas kulihat desain tempat wudhunya mirip di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Ada undakan untuk tempat duduk dan keran airnya masing-masing, jumlahnya sangat banyak dan jangan khawatir tak kebagian. Sayangnya masyarakat yang datang kurang paham fungsi undakan itu. Seharusnya undakan itu adalah tempat duduk di saat mengambil wudhu, sehingga kita nyaman saat akan membuka jilbab, kaos kaki. Terutama untuk orang yang tua seperti aku (heheeee...insyaf sudah udzur) yang mulai rada sulit angkat kaki atau menunduk saat buka kaos kaki. Kenyataannya undakan itu basah telas semua. Aku berkeliling kalau aja ada yang kering, tapi tak adapun. Ya sudahlah terpaksa ambil wudhu dan buka serta pasang kaos kakinya sambil berdiri.
Usai sholat aku segera keluar, tak menjumpai siapapun termasuk Bunga di tempat yang dijanjikan bertemu, karena toh kunci locker sandal dipegang Sapta. Akhirnya aku berusaha telpon. Rupanya memang mereka belum mengambil sepatu. Mereka langsung main dan mengabadikan keunikan lapangan di depan masjid yang disebut Alun-alun dimana lantainya dipercantik rumput sintetis. Setiap pengunjung harus membuka alas kaki di tempat itu. Kalau kata Kotada tempat ini sangat instagramable alias hits. Ohhhhhh...aku baru tahu. Lapangan dengan rumput sintetis itu sangat ramaiiiiii, banyak cara orang yang menikmatinya, tetapi sebagian besar anak kecil bermain dengan bola plastik.
Melalui pengeras suara berulang kali terdengar petugas mengumumkan peringatan untuk tidak makan atau mengotori rumput sintetis,mengingatkan agar melepas alas kaki, lalu peringatan berhati-hati dengan barang bawaan. Beberapa anggota kepolisian juga berjaga di area seputaran masjid. Hmmmm...jadi polisi di Bandung tugasnya lebih berat ya karena hari Minggu dan liburpun masih harus bertugas dan berjaga.
Di masjid ini terdapat dua buah menara kembar pada sisi kiri dan kanan masjid dengan ketinggian 81 meter yang dibuka untuk umum setiap hari Sabtu dan Minggu. Atap masjid juga diganti dari yang awalnya atap joglo menjadi satu kubah besar pada atap tengah serta atap yang lebih kecil pada kiri dan kanan masjid dan dinding masjid juga terbuat dari batu alam dengan kualitas tinggi. Sekarang luas tanah keseluruhan masjid adalah 23.448 m² dengan luas bangunan 8.575 m² dan mampu menampung kurang lebihnya sekitar 13.000 jamaah.
Menara Masjid Raya Bandung kini menjadi primadona wisata di Kota Bandung. Menara setinggi 86 meter lebih banyak dikunjungi saat bulan suci Ramadan. Para orang tua hingga anak-anak menghabiskan waktu di sini untuk ngabuburit. Dan sayangnya dengan matahari yang cerah ceria tersebut kami sulit mengambil foto karena hasilnya selalu back light.
Konon ceritanya para pengunjung dapat menikmati tingginya menara kembar dengan cara menggunakan lift agar bisa mencapai lantai 19. Untuk tersebut pengunjung harus merogoh kocek Rp 1000 untuk anak-anak, serta Rp 2000 bagi orang dewasa. Di puncak menara para pengunjung bisa melihat pemandangan Kota Bandung.Menara kembar dibuka setiap hari sejak siang. Mampu menampung sampai 80 orang. Namun pada siang itu sepertinya menara sedang tidak dibuka.
Menara kembar mulai berdiri ketika masjid ini direnovasi pada 2001. Di menara kembar itu ada dua kubah berukuran kecil yang di atasnya terdapat lambang tusuk satai. Terdapat juga kubah induk. Ukurannya lima kali lebih besar dari kubah yang kecil. Di kubah itu terdapat tulisan Allah setinggi 7 m.
Ayoooo...saya sudah lapar marilah kita makan yuk. Kami menuju jalan Braga, kata kang Dede semoga dapat parkir kalau tidak kita akan jalan jauh.
JALAN BRAGA
Bicara kota Bandung, siapa yang tak kenal dengan Jalan Braga. Jalan yang termasuk dalam jalan utama di Paris Van Java tersebut telah terkenal sejak masa penjajahan Belanda hingga menjadi judul sebuah lagu dari Sunda. Sebagai tempat yang menyimpan sejarah penting dalam sejarah Kota kembang, Bandung, membuat jalan ini tempat masih dipertahankan dan bahkan menjadi maskot kota Bandung. Sejumlah bangunan tua masih tetap berdiri dengan kokoh di kanan-kiri jalan, memamerkan kemegahannya di masa lalu. Di Jalan Braga, selain berwisata sejarah, wisatawan juga bisa menjumpai sejumlah toko yang menjual berbagai pernak-pernik khas kota Bandung. Selain itu juga terdapat jajaran restoran dan cafe yang bisa wisatawan kunjungi untuk berwisata kuliner. Tempat ini pun tak pernah sepi selama 24 jam. Bahkan di malam hari, kawasan ini semakin ramai, sebagaimana yang terjadi sejak tahun 1900-an.
Dahulunya jalan ini hanyalah jalan sempit yang sunyi dan kerap menjadi tempat kejahatan? Karenanya Jalan Braga pun sempat disebut sebagai jalan culik dan juga jalan pedati. Sejak kedatangan para pengusaha dari Belanda, jalanan ini pun berubah menjadi kawasan bisnis dengan berdirinya sejumlah toko dan bar serta sejumlah tempat hiburan malam lainnya. Ditambah lagi dengan keberadaan butik di tahun 1920-an yang berkiblat dari kota Paris sehingga Bandung berjulukan Paris Van Java, gedung Societeit Concordia yang menjadi tempat berkumpulnya para bangsawan, hotel savoy homann, dan juga sejumlah gedung perkantoran lainnya yang semkin menambah hingar bingar di Jalan Braga.
Istilah kota Kembang pun hadir dengan banyaknya turis yang memanfaatkan tempat hiburan malam untuk bersenang-senang hingga akhirnya warga Bandung menghimbau mereka untuk tidak datang ke Kota Bandung tanpa istri. Hingga kini tata letak pertokoan tersebut masih dipertahankan dan sejumlah gedungnya juga masih digunakan, namun hanya dialihfungsikan. Misalnya saja Gedung Societeit Concordia yang kini menjadi Gedung Merdeka.
Untuk menikmati pesona Jalan Braga paling pas dengan berjalan kaki. Suasana ala sejarah masih bisa ditemui hanya dengan gedung yang lebih modern. Jalan ini masih menjadi pusat mode dengan keberadaan sejumlah tempat wisata Belanja. Salah satunya adalah Braga City Walk yang menjadi pusat perbelanjaan di Jalan Braga. Sebagai shopping center yang cukup populer, Braga City Walk dilengkapi dengan Cinema XXI, food court dan juga hotel. Sejumlah pusat perbelanjaan lainnya juga bisa dijangkau dengan mudah termasuk yang berada di Jalan Asia-Afrika.
Tak hanya di Braga City Walk wisatawan bisa berburu kuliner disepanjang Jalan Braga. Sejumlah toko makanan tersebut bahkan ada yang berdiri sejak tahun 1900-an, yang salah satunya adalah Toko Roti Sumber Hidangan yang menjual roti-roti ala Belanda. Ada pula restoran Braga Permai dengan menu andalannya Ice Cream Braga Permai Paradise. Di sekitar Jalan Braga juga banyak penjual lukisan yang bisa travelers gunakan untuk oleh-oleh, termasuk lukisan karya para seniman dari Kampung Jelekong. Kalau ingin berfoto dengan background bangunan tua juga bisa dilakukan di sini.
Bahkan saat ini jalan Braga bahkan kota Bandung sudah sangat cantik dengan penataan pemandangan di jalan, trotoarnya yang ditata sedemikian rupa. Deretan kursi taman, lampu penerang jalannya dibuat dengan desain antik dan artistik. Aku suka sekali melihatnya, serasa kita berada di luar negeri. Itulah mengapa warga Bandung sangat bangga pada kang Emil sebagai walikotanya. Kecantikan kota ini adalah ide dan hasil kerja beliau. Great...!
Dengan kepadatan pengunjung mobil-mobil ber plat “B”, kami merasa bersyukur masih dapat parkir yang tidak begitu jauh dari kedai makan “Bebek Garang”. Berjalan hanya 2 meter kami sudah memasuki kedai tersebut. Tidak seperti dalam imajinasiku ketika membaca ulasan tempat ini. Kedai ini sangat kecil dan sederhana.Tidak juga begitu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang sepertinya mahasiswa. Menu yang tersedia ada dalam beberapa pilihan yang bahan dasarnya adalah bebek. Tadinya aku memesan bebek yang cita rasa pedas level tinggi. Aku lupa namanya, namun menu itu out of stock. Akhirnya aku dan kotada memilih bebek Americana, pedas level menengah. Sedang Sapta dan kang Dede memilih menu bebek kremes original, Bunga bebek hitam manis. Begitu pesanan datang kami langsung menyantapnya ludes. Memang enak kok....dan catatan lagi harganya tak terlalu mahal, untuk setiap porsi menu yang kami pesan itu dihargai sebesar 35 ribu saja, itu sudah lengkap nasi, bebek, sayuran, kol kremes dan sambalnya yang peudessssss poll. Kalau minum lain harga dan bisa memilih lagi.Banyak ragam pilihan minuman, tapi kami memilih es teh manis.
|
Keindahan trotoar di Jalan Braga |
|
Para penjual lukisan yang mangkal di jalan Braga |
|
Kursi-kursi taman yang cantik dan berderet di jalan Braga |
|
Cafe Bandros, mahal punya... |
|
Toko kopi Hang Over, si bapak baju merah selalu mejeng nih setiap sayamau foto |
|
Toko kopi Hang Over.... |
|
Cafe Bandros, menu sajiannya sebagian steak aneka varian, tokonya boleh sederhana tapi di sini harganya selangit |
|
Spot favorite, setiap bertemu anak-anak ABG maka aku akan merindukan Nabila. Yah...jadilah mengobatinya dengan ramah tama dengan anak-anak ini |
|
Gedung Konferensi Asia Afrika di jalan Merdeka |
|
Sisi sisi jalan Merdeka. Tetep cantik |
|
Bahkan besi lampu itupun desainnya menarik perhatian aku |
|
Yuk nyender dulu, di Bandung juga indah tak hanya di Milano Italy |
|
Jalan Braga lagi. Tak puaspun berfoto... |
|
Gedung konferensi Asia Afrika |
|
Registrasi tamu dulu, meskipun free charge kok masuk ke sini |
|
Diorama saat pidato Bung Karno di KAA |
|
Bik Esiiiii...jepret... candidlah dia |
|
Tuh ketemu lagi dengan anak-anak yang berkunjung ke sini. Aku inget Ardi dan Nabila lagi. Mereka ini setengah bingung ketika aku ngajak foto bareng. Tapi akhirnya rebutan mau didepan posenya . Jongkok ya... |
|
Bendera peserta KAA |
|
Sisi luar depan gedung KAA |
|
Masih di jalan Braga saat akan menuju ke parkiran mobil and say good bye to Bandung. The last take... See you in another occasion |
Selesai santap siang tenaga sudah dicharge dan ketika kang Dede menawarkan kembali berjalan dari jalan Braga hingga jalan Merdeka tempat gedung konferensi Asia Afrika aku tak menolak. Lumayanlah belajar sejarah dan menambah koleksi foto untuk instagram. Yah...akhirnya semua sudah usai, baiklah kita menuju arah bandara.
Aktifitas di bandara Husein Sastranegara sangat sibuk dan padat, karena ini memang akhir pekan. Sesudah proses check in masuk ke ruang tunggu keberangkatan di lantai 2 aku dibuat terkaget-kaget. Penuh sesak banyak calon penumpang yang tergelatak dilantai atau berdiri menunggu. Benar-benar tak ada space lagi, kami dapat duduk menggelepar di lantai di dekat kotak sampah. Aku bingung apakah kapasitas ruang tunggu ini memang tak cukup atau apa? Setelah duduk aku baru paham bahwa ada ketidakberesan yang terjadi. Ternyata terjadi penumpukan calon penumpang ini disebabkan oleh tertundanya keberangkatan calon penumpang maskapai penerbangan Lion ke segala destinasi. Surabaya, Kalimantan, Lampung, Padang bahkan Malindo yang satu payung dengan Lion pun delay juga.
Jika kemaren-kemaren aku cuma mendengar dan melihat berita heboh delaynya Lion ini dari televisi, hari ini aku menyaksikan sendiri. Betapa manusia yang emosi dan hilang kesabaran itu bersikap seperti itu. Membentak, berteriak-teriak protes pada petugas Lion. Atau ada seorang laki-laki yang protes dengan berteriak-teriak sendiri dengan kalimat “ngenyek” yang kemudian disambut gerrrr... ataupun timpalan kalimat temannya dalam satu group tour, penumpang tujuan Surabaya. Sebenarnya wajar saja mereka seperti itu, schedule berangkat jam 10 pagi sudah hampir jam 5 masih delay tanpa ada kepastian kapan terbang.
Hmmmmm.... citra Lion sebagai maskapai paling sering melakukan delay tanpa batas waktu kan sudah lama terdengar dan nyata, kenapa maskapai ini tetap beroperasi tanpa warning dari yang berwajib. Menurutku sendiri yang paling salah adalah calon penumpang, bukankah sudah tahu reputasinya Lion seperti itu kok masih mau membeli tiketnya? Bukankah kalau tak ada peminat perusahaan ini akan bangkrut dengan sendirinya. Aku sendiri paling tidak mau/ menginginkan terbang dengan Lion. Jika sudah tahu tapi mereka masih membeli artinya sudah mampu menerima segala resiko yang ada yaitu delay. Jadi tak perlu protes keras seperti itu. Ahhhh...entahlah.
Beruntungnya pesawat kami City Link tidak delay dan berangkat sesuai schedule 17.20. Berdasarkan pengalaman berangkat yang pesawatnya turbulensi aku sudah was-was. Tadi di ruang tunggu aku sudah menelan antimo. Tetapi Alhamdulillah... semua mulus dari take off hingga landing semuanya mulus dan nyaman bahkan selama 1jam penerbangan aku tertidur pulas. Yah.... inilah libur week end yang sangat menyenangkan. Semoga masih diberi kesempatan, waktu, biaya dan kesehatan untuk merasakan libur week end di destinasi dalam negeri yang menyenangkan. Insya Allah pengen ke Lombok, Bromo, Padang dan Medan.