Thursday 9 February 2017

A HALF DAY EXPLORE PALEMBANG


Sudah 2 kali Sabtu libur majelis taklim di mesjid Taqwa membuat aku mulai merasa jenuh di rumah melulu. Pertama memang kalau tidak “ngaji” di Taqwa aku bener-bener tidak keluar rumah, karena aku typical yang ogah keluar jika tanpa alasan yang penting. Terus selain itu kalau Sabtu libur, maka seluruh PR rumah tangga seperti mencuci,nyapu, ngepel, beberes rumah, ke pasar, masak dan sebagainya akan dapat diselesaikan dalam hari Sabtu itu saja. Pada akhirnya hari Minggu menjadi bengong di rumah. Sudah 2 kali Sabtu or Minggu juga janjian sama ibu Angga dan ibu Ifan untuk jalan pagi selalu gagal dengan berbagai alasan. Hmmmm.... aku pengen banget untuk bugar. Aku sudah berencana untuk jalan pagi sendiri dari rumahku ke pasar Lemabang, trus pulangnya mampir ke Kemudi dan minta anter Atik. Fixed rencana itu kususun sendiri.

Kebetulan hari Sabtu aku mengajak kumpul para calon peserta “Korea Winter Trip” untuk briefing mengenai keberangkatan dan kepulangan trip tersebut di rumah ibu Angga. Kotada juga kuminta datang. Eh...bubaran briefing iseng aku nawarin Acep dan Kotada untuk olah raga pagi dan senam bersama di Jakabaring sport centre. Acep bilang oke tapi sebaiknya di Kambang Iwak Family park saja lebih deket dan lebih seru. Yeayyy senangnya...secara sudah lama aku ingin sekali jalan pagi dan senam bersama di Kambang Iwak. Selama ini aku hanya mendengar cerita kawan atau melihat upload foto-foto teman di IG, FB atau profile picture di BBM.

1. KAMBANG IWAK FAMILY PARK

Kambang Iwak merupakan salah satu peninggalan penjajahan Belanda di kota Palembang. Dahulu taman ini dibuat seiring dengan adanya rencana dari Residen (Walikota) Palembang saat itu yang ingin menjadikan Palembang sebagai kota taman layaknya Bandung di Jawa Barat yang sudah lebih dahulu tenar menjadi kota taman yang asri di Hindia Belanda. Oleh sebab itulah sekitar tahun 1900an kawasan Talang Semut dibuat seasri mungkin dengan ditanami pohon-pohon besar yang rindang kemudian dibuat pula sebuah taman sebagai tempat berkumpul dan rekreasi warga Belanda yang bermukim di Palembang.

Sampai saat ini pohon-pohon rindang yang ditanami Kompeni Belanda saat itu masih kokoh berdiri memberikan suasana yang begitu asri dikawasan ini ditemani dengan rumah-rumah berarsitektur kolonial disekitarannya menjadikan kawasan Talang Semut dan Taman Wisata Kambang Iwak yang ada ditengahnya sebagai salah suatu tempat favorit warga Palembang yang ingin melepas penat.

Sejarah pun mencatat selepas Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi pada tahun 1945 kawasan Talang Semut dan Taman Wisata Kambang Iwak sedikit terlupakan oleh kita. Daerah ini luput dari perhatian pemerintah padahal apabila dikelola dengan baik kawasan bersejarah ini dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Palembang terutama bagi mereka yang haus pengetahuan sejarah khususnya sejarah Kota Palembang. Daerah tersebut khususnya Taman Wisata Kambang Iwak pernah mengalami keterpurukan yang sangat parah, saat itu sekitar tahun 1980-1990-an kawasan taman ini menjadi basecamp para waria dan pelacur di kota Palembang, taman tersebut menjadi tempat prostitusi masal dan tempat muda-mudi memadu kasih ilegal (maksiat) sehingga bila malam datang banyak warga yang enggan untuk datang ke tempat ini. Selain itu, menurut cerita orang tua saat itu pula sering ditemukan karung berisikan mayat orang korban dari Petrus (Penembak Misterius) yang marak terjadi di era orde baru dahulu.

Pada tahun 2004 pemerintah Kota Palembang berbenah dalam rangka menyambut PON tahun 2004 (PON pertama di luar Pulau Jawa). Semua sudut Kota Palembang disulap menjadi kawasan elite, Jembatan Ampera bersolek dengan kemasan warna cat yang baru, Kawasan Benteng Kuto Besak dirombak abis-abisan menjadi Plaza BKB yang bersih, pembangunan di Kota Palembang menjadi marak. Semuanya berubah tidak terkecuali Taman Wisata Kambang Iwak. Awal 2000-an adalah momentum perubahan di Kota Palembang, pemerintah gencar mempromosikan Kota Palembang sebagai kota wisata yang wajib dikunjungi.

Yah...akhirnya jam 6 kurang 10 menit kami, aku, Acep dan Kotada meluncur ke TKP. Dalam perjalanan aku exited melihat jalan raya sepanjang perjalanan ke KI itu sangat ramai sekali, banyak orang yang berolah raga pagi entah itu jalan santai, berlari marathon dan bersepeda, pokoknya ramai sekali tidak seperti suasana Sabtu subuh saat aku menuju mesjid Taqwa. Tiba di lokasi Kambang Iwak suasana lebih ramai lagi berjubel orang, dan yang paling menjadi catatan adalah sulit cari parkir.

Setelah dapat parkir kami menuju lokasi pusat keramaian yaitu kolam yang cukup luas, dan di sepanjang jalan ramai sekali orang berjualan aneka rupa makanan dan penganan seperti mie tek-tek, somay, pempek panggang dsb. Jualan busanapun banyak, elektronik , counter HP. Wuih... aku terlihat sedikit norak terlebih lagi melihat anekan makanan serasa mau dibeli semua. Ahayyyyy... lupakan diet.

Sesampainya di area senam bersama peserta yang sudah jejer rapih untuk ikut senam baru sedikit dan kami memutuskan untuk jalan satu putaran mengelilingi kolam sebagai pemanasan. Eh pas kembali lagi ke lokasi senam lokasi sudah full bahkan hampir tidak kebagian tempat, berusha nyempil diantara peserta bagian paling belakang akhirnya dapat juga ikut senam. Kaget awalnya ternyata porsi senamnya 2 kali lebih banyak dari pada senam setiap Jum’at di kantor. Aku sudah terengah-engah ternyata itu baru pemanasan, tetapi karena pesertanya ramai dan suasananya riuh gembira aku jadi semangat dan tidak menjadi lelah.

Kambang Iwak Family Park sebelum mulai senam tu muka...bantal bangetsss

Susah jalan dan mencari jalan pulang karena penuh pedagang dadakan mingguan di tempat ini

Tuh kan di area yang agak sepian


Usai senam kami kembali mengitari kolam. Sasaran yang paling utama adalah cari minum dulu. Kami membeli susu kedele panas dan pempek panggang. Harga makanan di sini jauh lebih mahal dari di tempat jual makanan biasa. Harga 1 buah pempek panggang 3000 rupiah dengan kandungan ikan seadanya. Inilah prinsip ekonomi jika pembeli banyak maka harga naik. Usai minum susu kedele dan makan pempek panggang kami kembali berjalan kaki, nah di sepanjang perjalanan inilah timbul ide untuk jalan menyelusuri spot-spot icon wisata yang ada di Palembang.

Aku bilang pada Acep bahwa sudah dari dahulu kala aku sangat ingin berfoto di atas jembatan Ampera yang merupakan icon kota Palembang. Acep menyetujui ... horeee. Sepakat kami gak usah nyari sarapan dulu karena di daerah benteng Kuto Besak itu banyak cafe-cafe modern yang memiliki counter Jco, KFC dsb, juga banyak terdapat kuliner jajanan rakyat. Oke setuju yuk cap cuss...

Sesampainya di lokasi seputaran Ampera dan Benteng Kuto Besak aku takjub. Di ditu memang terjadi perubahan yang sangat signifikan. Terakhir kali aku ke area ini pada saat SEA Games tahun 2011, semua belum seperti sekarang. Wah...wah bravo Palembang. Kami berusaha cari parkir yang aman dan sesuai aturan tentunya. Mesti muter karena tempat resmi parkir itu di area bawah jembatan Ampera. Lucu juga pas mau masuk di area ini, kami melihat ada pintu masuk untuk ambil karcis parkir secara otomatis tetapi kok mati/alias tidak berfungsi. Secara jujur kami bertanya pada beberapa orang laki-laki berpenampilan garang yang stand by di situ, mereka menjawab parkir dulu saja pak nanti kalau keluar baru bayar ke mereka. Kok gitu sih????

Oke selepas parkir mobil kami segera mencari tangga yang menuju ke atas jembatan Ampera. Yeaayyyy...berhasil akhirnya aku sudah di trotoar atas jembatan Ampera untuk berpose dan mengabadikannya. Senangggg.... udara masih sangat sejuk (saat itu sedang mendung)) dan suasana jalan masih sepi.

2. JEMBATAN AMPERA

Jembatan Ampera merupakan jembatan kebanggaan masyarakat Palembang, Sumatera Selatan dan menjadi Trade Mark bagi kota Palembang. Keberadaan jembatan tersebut sangat penting untuk menghubungkan daerah ulu dan ilir sehingga transportasi menjadi lancar dan otomatis juga memperlancar kehidupan ekonomi. Jembatan Ampera merupakan hadiah Bung Karno bagi masyarakat Palembang yang dananya diambil dari dana rampasan perang Jepang (juga untuk membangun Monas, Jakarta

Struktur Jembatan Ampera
Panjang : 1.117 m (bagian tengah 71,90 m)
Lebar : 22 m
Tinggi : 11.5 m dari permukaan air
Tinggi Menara : 63 m dari permukaan tanah
Jarak antara menara : 75 m
Berat : 944 ton

Sejarah Jembatan Ampera
Pembangunan jembatan ini dimulai pada bulan April 1962, setelah mendapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya pembangunannya diambil dari dana pampasan perang Jepang. Bukan hanya biaya, jembatan inipun menggunakan tenaga ahli dari negara tersebut.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30 September 1965 Oleh Letjend Ahmad Yani ( sore hari Pak Yani Pulang dan subuh 1 Oktober 65 menjadi Korban G.30 S PKI), sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Akan tetapi, setelah terjadi pergolakan politik pada tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun diubah menjadi Jembatan Ampera. tetapi masyarakat palembang lebih suka memanggil jembatan ini dengan sebutan “Proyek Musi”

Bagian tengah Jembatan Ampera, ketika baru selesai dibangun, sepanjang 71,90 meter, dengan lebar 22 meter. Bagian jembatan yang berat keseluruhan 944 ton itu dapat diangkat dengan kecepatan sekitar 10 meter per menit. Dua menara pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter. Jarak antara dua menara ini 75 meter. Dua menara ini dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton.

Keistimewaan Jembatan Ampera
Pada awalnya, bagian tengah badan jembatan ini bisa diangkat ke atas agar tiang kapal yang lewat dibawahnya tidak tersangkut badan jembatan. Bagian tengah jembatan dapat diangkat dengan peralatan mekanis, dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton di dua menaranya. Kecepatan pengangkatannya sekitar 10 meter per menit dengan total waktu yang diperlukan untuk mengangkat penuh jembatan selama 30 menit.

Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.

Sejak tahun 1970, Jembatan Ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit, dianggap mengganggu arus lalu lintas antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dua daerah Kota Palembang yang dipisahkan oleh Sungai Musi.

Alasan lain karena sudah tidak ada kapal besar yang bisa berlayar di Sungai Musi. Pendangkalan yang semakin parah menjadi penyebab Sungai Musi tidak bisa dilayari kapal berukuran besar. Sampai sekarang, Sungai Musi memang terus mengalami pendangkalan .

Pada tahun 1990, dua bandul pemberat untuk menaikkan dan menurunkan bagian tengah jembatan, yang masing-masing seberat 500 ton, dibongkar dan diturunkan karena khawatir jika sewaktu-waktu benda itu jatuh dan menimpa orang yang lewat di jembatan.

Jembatan Ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana sekitar Rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan ancaman kerusakan Jembatan Ampera bisa membuatnya ambruk. Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi.

Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi merah sampai sekarang. Saat ini Jembatan Ampera adalah salah satu objek wisata di Palembang, oleh karena itu rasanya belum lengkap jika berkunjung ke Palembang tanpa mampir untuk melihat atau berfoto di Jembatan Ampera, karena jembatan ini sudah banyak mengalami perubahan. Jembatan Ampera sudah dipercantik dengan lampu-lampu yang menghiasi badan Jembatan. Pada malam hari cahayanya berkilau di sungai Musi, membuat view di sana menjadi sangat memukau.

Puas berfoto diatas jembatan akhirnya kami turun ke bawah menuju pelataran di depan Plaza Benteng Kuto Besak. Suasana di sana sudah sangat berubah dari yang pernah aku lihat saat SEA Games tahun 2011. Rapi dan bersih dengan icon cantik. Ada tulisan PALEMBANG dari besi berwarna merah (jadi inget tulisan I am sterdam di Holand tempo hari). Aku kagum dan tersenyum sendiri di area itu banyak sekali wisata dalam negeri yang terdiri rombongan mahasiswa yang sedang KKL, pegawai beberapa instansi pemerintah dari daerah lain, rombongan reuni sekolah bahkan ada wisatawan mancanegara berasal dari negeri tetangga Malaysia. Hmmmm... indah juga yah kotaku tercinta ini.

Plaza Benteng Kuto Besak
Lokasi : Depan Benteng Kuto Besak
Sejarah/keunikan :
- Ruang terbuka dengan suasana tepian S. Musi
- Lokasi pertunjukan, perlombaan, pameran dan lain-lain.



Di atas jembatan Ampera, sayangnya fotonya kabur hiks..
Fotonya blurrr ternyata HP Acep itu rusak karena jatuh...nyesel gak pake HP sendiri aja

Selfie...terang tuh fotonya...masih muka bantal semuaaa
Penampilan muka bantal dari berbagai sisi

3. SEKILAS INFO BENTENG KUTO BESAK

Bangunan ini di bangun selama 17 tahun dimulai pada tahun 1780 dan diresmikan pemakaiannya pada hari senin tanggal 21 februari 1797. Pemrakarsa pembangunan benteng ini adalah Sultan Mahmud Badaruddin l (1724-1758) dan pembangunan dilaksanakan oleh Sultan Mahmud Badaruddin, sebagai pengawas pembangunan dipercayakan pada orang-orang Cina. Benteng Kuto Besak mempuyai ukuran panjang 288,75 meter dan tinggi 9,99 meter (30 kaki) serta tebal 1,99 meter (60 kaki).disetiap sudutnya terdapat bastion yang terletak di sudut barat laut bentuknya berbeda dengan tiga bastion lainnya. Tiga bastion yang sama tersebut merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak, di sisi timur dan selatan dan barat terdapat pintu masuk benteng, pintu masuk gerbang utama yang menghadap ke sungai musi disebut lawang kuto dan pintu masuk lainnya disebut lawang buritan.

Area Riversida

Masih disisi sungai di bawah jembatan Ampera

Dengan hasil foto yang blur...plus mendung

Plaza BKB

Icon Palembang seperti di Amsterdam

Antri nih mau foto di sini

Plaza BKB
Kami tidak menemukan kuliner di area ini (karena masih sangat pagi, jam 9.00 cafe ataupun resto belum ada yang buka), maka kami menuju destinasi berikutnya yaitu Stadion Bumi Sriwijaya Jakabaring. Tidak membutuhkan waktu lama kami sudah tiba di pintu masuk stadion. Selalu sikap kritis aku muncul setiap melewati suatu sistem yang menurutku tidak jelas. Di pintu gerbang masuk mobil kami di stop beberapa orang laki-laki bertampang garang , mereka meminta uang 10 ribu sebagai tanda masuk area stadion. Wuihhhh.....gede amat tuh restribusi mana tidak resmi lagi. Hmmmmm....

4. STADION GELORA BUMI SRIWIJAYA

Stadion ini terletak di kawasan Jakabaring Palembang,merupakan stadion kebanggan wong kito. Tempat diselenggarakannya berbagai perhelatan akbar dan even pertandingan sepak bola khususnya menjadi kandang Laskar Wong Kito.

Sejarah/keunikan :
Lingkungan asri dan luas
Tempat kegiatan olahraga berskala nasional seperti PON
Tempat kegiatan olaraga berskala Internasionanl seperti AFF, Sea Games, ISG dan lain-lain
Wisma atlit

Stadion Gelora Sriwijaya (juga disebut Stadion Jakabaring) adalah stadion multifungsi terbesar ketiga di Indonesia setelah Stadion Utama Gelora Bung Karno dan Stadion Utama Palaran. Berlokasi di Palembang, stadion ini juga diakui sebagai salah satu stadion terbaik yang bertaraf internasional. Kebanyakan, stadion ini difungsikan untuk tempat penyelenggaraan pertandingan-pertandingan sepak bola. Stadion dengan luas lahan sekitar 40 hektar ini dapat memuat hingga 36.000 - 40.000 orang dengan 4 tribun (A, B, C dan D) bertingkat mengelilingi lapangan. Tribun utama di sisi barat dan timur (A dan B) dilindungi atap yang ditopang 2 pelengkung (arch) baja berukuran raksasa. Bentuk atap stadion merupakan simbol kejayaan kemaharajaan Sriwijaya di bidang maritim yang dilambangkan oleh bentuk perahu dengan layar terkembang. Stadion ini beralamat di Jalan Gubernur H. A. Bastari, Jakabaring, Palembang.

Tepian danau buatan di area stadion Bumi Sriwijaya Jakabaring
Pelataran depan stadion
Foto candid
Candid yang memang bener tidak disengaja
Sepertinya aku memang mencintai area ini karena rumput hijaunya
Stadion Gelora Bumi Sriwijaya. Gaya senam terbaru versi Acep dan sayapun ikut aja yah...
Candid mode on...saya tak merasa di foto oleh Acep pas di bluetooth hasilnya sukaaa
Selfie dulu sebelum memutuskan pulang dan cari makan

Tetapi saat kami masuk ke area bagian yang ada danau buatan pemandangan di area itu sedang tidak indah, karena sedang dalam tahap pembangunan beberapa fasilitas untuk persiapan Asian Games 2018. Gundukan tanah becek, pagar-pagar seng pembatas, dan alat-alat berat yang terparkir disana. Akhirnya kami just sight seeing saja. Selanjutnya kami menuju area pelataran stadion yang memiliki ciri khas lantainya berwarna hijau merah kuning pokoknya colorfull, dan saat itu tidak lagi colorfull. Warnanya sudah pudar. Tidak banyak orang di sana. Kami turun dan ambil beberapa foto sebentar trus cap cus cari makan. Perut sudah perih.

Rada ribet dan sulit cari makan nih, entahlah sudah cukup siang begitu (jam sebelas lewat) tapi resto atau tempat makan masih pada tutup, mungkin karena sisa hujan semalam bahkan pagi itu masih sedikit gerimis. Dan setelah muter-muter akhirnya kita terdampar di Braserie PTC, menu favorite kami yang sudah terlalu sering dipesan yaitu Gurame asam manis, Tahu Braserie, Cah Kailan bawang putih, Yah...cukup segitu perjalanan hari ini, lain kali masih mau explore Palembang lagi. Masih banyak Icon yang belum diabadikan Masjid Agung, Pulo Kemaro dsb.

No comments: